Jumat, 25 Januari 2013

Cerita Seru - Sri dan Anaknya

Bersamaan
dengan meninggalnya ayah Adi karena kecelakaan lalu lintas,
Ibu Adi mengambil keputusan untuk bekerja, karena alasan
untuk mempertahankan kehidupan keluarga dan membiayai
sekolah anak-anaknya. Sejak saat itu mereka tinggal hanya
berempat termasuk Sasma. "Nyonya sedang tidur Den.., di
kamar atas.. Kata nyonya, kalo Den Adi ada perlu bangunin
aja.." "Iya deh Bi.. nanti saya ke atas.." Adi membuka
sepatunya dan melangkah ke lantai atas rumahnya. Adi
berniat mengetuk pintu, tapi ia mengurungkan niatnya
karena dilihatnya bahwa pintu kamar ibunya tidak tertutup
dengan sempurna, sehingga masih terdapat celah yang
cukup besar untuk melihat keadaan di dalam kamar. Adi
mencoba
mengintip ke dalam kamar, dan terdiam sesaat karena
melihat ibunya sedang tertidur lelap dan roknya tersingkap
sampai ke perut. Terlihat ibunya mengenakan celana dalam
yang terbuat dari nylon, dan terlihat sangat menggairahkan.
Adi memang sudah biasa melihat pemandangan seperti ini,
bahkan ia sering melihat ibunya bila sedang ganti pakaian,
dan Sri memang tidak memperdulikan keberadaan anaknya
pada saat ia sedang dalam keadaan setengah telanjang. Sri
memang berumur kepala empat, tetapi ia sangat menjaga
kebugaran tubuhnya dengan selalu mengikuti latihan-latihan
aerobic di kantornya, jadi meskipun sudah berumur, Sri masih
memiliki tubuh yang indah dan sexy, itulah sebabnya Adi
mengagumi ibunya. Tetapi kali ini Adi merasakan ada
perasaan lain yang menjalar di seluruh tubuhnya, ia
membuka pintu dengan perlahan dan masuk dengan
mengendap- endap, dengan harapan bahwa kedatangannya
tidak diketahui oleh Sri. Mata Adi menatap nanar ke arah
selangkangan Sri, terlihat dengan jelas gundukan yang
menyembul lembut di balik bahan nylon putih, dan terlihat
samar-samar bulu-bulu hitam yang membuat Adi menelan
ludah. Adi mencoba ingin menyentuh paha mulus Sri, tapi
sejenak ia mengurungkan niatnya, dan ia sempat berpikir
akibat
perbuatan yang akan dilakukannya. Ia merasa takut kalau-
kalau nantinya Sri akan marah dan menghukum dirinya, dan
Adi berusaha menekan nafsunya dengan berkata dalam
hati bahwa apa yang dilakukannya adalah salah, karena Sri
adalah ibu kandungnya. Adi tetap berdiri di sebelah tempat
tidur dengan pandangan matanya tidak lepas dari tubuh Sri.
Entah setan apa yang mempengaruhinya, Adi mengulurkan
tangannya dan mulai mengelus-elus paha Sri. Pada saat
elusan tangan Adi hampir sampai ke pangkal paha ternyata
Sri terbangun dan lagnsung menarik diri mengambil posisi
duduk di atas kasur sambil membereskan pakaiannya. Adi
terperanjat dan ketakutan setengah mati, tapi apa mau
dikata, semuanya telah terjadi, Adi terdiam
menunggu apapun yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu
sudah pulang sekolah..? Mama pikir siapa..," Sri menegur Adi
dengan nada yang sama sekali tidak terlihat marah.
Mendengar nada bicara ibunya, Adi yakin bahwa ibunya tidak
marah kepadanya, Adi hanya mengangguk menjawab
pertanyaan ibunya. "Kamu sudah makan..?" tanya Sri. "Belon
nih Ma.. Tapi Adi sudah jajan Mie Ayam disekolahan, jadi
masih kenyang..," jawab Adi sambil mengambil posisi duduk di
pinggiran tempat tidur. Adi duduk sambil memandang ke
arah dada Sri yang memang tidak memakai bra. Sri
menyadari bahwa anak sebaya Adi memang sedang
terobsesi dengan lawan jenis. Dengan tersenyum dan
mengusap pipi Adi, Sri berkata, "Kamu liat apa sih, ko sampe
bengong gitu..?" "Ah nggak Ma.." jawab Adi grogi. "Wajar ko,
kalo seusia kamu berbuat seperti itu, tapi
jangan ke Mama, soalnya Mama kan ibu kamu.." "Adi kan
cuma liat Ma.." "Apa yang kamu liat..? Waktu kecil kamu
minum susu dari sini." kata Sri sambil memegang tete
sebelah kiri dengan tangan kanannya. "Kalo sekarang
susunya masih ada nggak Ma..?" Adi bertanya dengan lugu
dan manjanya. "Ya.. enggak lah.." "Boleh nggak Adi cobain
nyusu lagi..? Kan Adi udah lupa rasanya.." "Ih.. kamu ini apa sih,
udah gede ko masih kolokan.." "Ya Mama.. sebentar.. ajaa.. Ya
Ma.. Yaa..?" Sri berpikir sejenak sebelum memberi
keputusan, Sri memang berpikir bahwa permintaan Adi
menyalahi aturan, tapi ia tidak ingin mengecewakan Adi, toh
tidak ada salahnya kalau cuma sebentar pikir Sri. Sri lalu
mengangguk tanda setuju dan membuka bagian atas
dasternya, dan mengeluarkan payudaranya sambil berkata,
"Tapi kamu janji cuman sebentar yaa.." Adi tersenyum dan
mendekatkan mulutnya ke arah puting susu Sri. Saat mulut
Adi mengulum, Sri merasakan seluruh tubuhnya bagai
tersengat aliran listrik, karena memang sudah empat tahun
ia tidak
merasakan bagian-bagian sensitif di tubuhnya disentuh oleh
laki- laki. Adi bukan cuma mengulum, tetapi juga memainkan
lidahnya di sekitar puting susu Sri, Sri menikmatinya untuk
sesaat dan dia berusaha mendorong Adi yang mulai
keasikan. Adi menahan dorongan Sri dan tetap pada posisi
mengulum puting Sri. "Adi..
cukup sayang.., udahan yaa..!" Adi tidak menjawab dan tetap
pada aksinya, malah Adi memberanikan diri menambah
aksinya dengan mengelus paha ibunya. Sri mendorong Adi
dengan sekuat tenaga sampai Adi terjatuh ke lantai. Sri
membalikkan badan dan tidur telungkup sambil
membenamkan wajahnya ke bantal. Adi berdiri dan berjalan
ke arah lain sisi tempat tidur, dan duduk di tepian tempat
tidur. Kini posisi Adi dan Sri saling membelakangi. Adi
berusaha memecahkan keheningan di dalam kamar itu
dengan bertanya,
"Mama marah sama Adi Ya..? Maafin Adi ya Maa.. Adi janji
nggak lagi-lagi deh Ma.." "Mama nggak marah ko Di.. Mama
cuma inget sama Papa, dan Mama takut.. keterusan, lagipula
apa yang kita lakukan tadi tidak dibenarkan." Adi lalu naik ke
tempat tidur dan berbaring di sebelah Sri yang masih
membelakanginya, lalu Adi memeluk Sri dari belakang sambil
mencium pipi Sri. "Adi sayang sama Mama dan nggak mau
Mama sedih karena inget sama Papa," sambil berkata Adi
nekat mencium bagian belakang telinga Sri dan tangannya
mengelus buah pantat Sri. Kembali Sri terasa distrum dan
membiarkan tangan Adi yang meremas dan
mengelus buah pantatnya. Tanpa sepengetahuan ibunya
yang memang menghadap membelakangi Adi, Adi membuka
resleuting celananya dan mencopot celananya sampai
tinggal hanya celana dalam yang tersisa. Adi kemudian
menyilangkan tangannya ke depan dan meremas payudara
Sri, sementara itu Adi menempelkan barangnya yang
tampak menyembul ke belahan pantat Sri yang masih
terbungkus CD. Sesaat kemudian Adi membalikkan tubuh Sri
hingga telentang dan mengangkat daster Sri bagian bawah
sampai ke atas, dan Sri hanya diam dan mengikuti semua
gerakan Adi. Kini Sri hanya tinggal mengenakan CD, Adi
membuka pakaiannya dan keadaan Adi kini pun tinggal hanya
mengenakan CD. Adi menindih tubuh Sri dan
menempelkan barangnya yang masih terbungkus CD tepat
di atas barang Sri yang juga masih terbungkus CD. Adi
kembali mengulum puting susu Sri dan terus menjilat sampai
ke perut, dan pada akhirnya sampai ke bawah pusar Sri. Adi
menarik CD Sri ke bawah, dan Sri pun mengangkat
pantatnya sehingga memudahkan Adi dalam membuka CD
ibunya. Adi kembali menjilati perut Sri yang akhirnya ke paha
dan mulai ke bagian sekitar pangkal paha. Sri mendesah
karenanya, "Shhshh.. Ouhh Adi.. Jilatin barang Mama sayang..
ouh..!" Adi terus menjilat, dan akhirnya Adi menjilati kemaluan
Sri, "Adi.. enak sekali sayang.. oohh.." Adi terus menjilati
dengan semangat, dan akhirnya Sri sampai pada puncaknya.
"Adi.. Mama keluar.. sayaang..!" Ternyata baik Sri maupun Adi
sudah dirasuki nafsu yang sangat mendalam, Sri menarik
tangan Adi pertanda ia ingin merubah posisi. Ia membiarkan
Adi berbaring, sementara ia duduk bersimpuh di tempat tidur
dan menarik CD Adi sampai terbuka. Lalu Sri mengulum
kepala kemaluan Adi. "Ma.. enak Ma.. teruss Ma.. ouuhh.."
Mendengar Adi mendesah sedemikian rupa, nafsu Sri kembali
bangkit dan dia mengambil posisi menduduki barang Adi dan
menuntunnya masuk ke dalam vaginanya. "Oooh.. Adi..
kenapa nggak dari dulu sayaang.. Mama kangen.. sekali pingin
ngerasain seperti ini.." "Iya Ma.. ouhh.. enak Ma.. sshhsshh.."
Ternyata karena sudah lama tidak bersetubuh, Sri sangat
terobsesi dengan keadaan dimana ia dan Adi sedang
menikmati permaianan sex, sehingga ia tidak dapat
mempertahankan perasaannya dan sangat mudah sekali
mencapai orgasme. "Adii.. mama keluar lagi Adi..oouuhhgg.."
Adi mengambil inisiatif untuk merubah posisi, ia membalikkan
tubuh ibunya, dan kini posisi Adi ada di atas tubuh ibunya. Adi
mengocok keluar masuk kemaluannya dengan sangat penuh
perasaan karena ia tidak ingin menyakiti ibunya. Karena
kelembutan yang diberikan Adi, Sri kembali terangsang dan
menggoyangkan pantatnya. "Sshhss.. Adii.. kamu kuat sekali..
persis seperti Papamu.. ouuhhgg.. terus sayang.. shhgg..!" Adi
melepaskan kemaluanya, dan menarik tangan Sri untuk
mengambil posisi menungging. Sri mengikutinya, kini mereka
dalam posisi doggy style. Adi memasukkan kembali
kemaluannya dan memompanya maju mundur. Sambil
menggoyangkan maju mundur, Adi memasukkan ibu jari
kanannya ke mulut, dan membasahkannya dengan ludah.
Setelah basah, Adi memasukkan ibu jarinya ke dubur Sri.
"Adi.. auw.. ngapain kamu.. ouhhgg.." "Tapi enak kan Ma.. shh.."
"Iya sayang.. ouughh..!" Adi membenamkan semua ibu jarinya
ke dubur Sri, Sri menggelinjang keenakan, semua lubang yang
ada di selangkangannya sekarang terisi. Ia merasakan
disetubuhi oleh dua orang. "Adii.. ough.. Adi.. Mama mo keluar
lagi sayang.." "Kita bareng ya Ma.., Adi juga mau sampe..
oouughh..! Adi keluar Maa.." Sri menggoyangkan pantatnya
dengan cepat, dan terasa ada cairan hangat yang
menyembur di dalam tubuhnya. "Mama keluar juga sayang..
" Dan akhirnya mereka berdua terkulai lemas, Adi mencium
kening Sri dan berkata, "Adi sayaang deh sama Mama.." Sri
hanya tersenyum karena masih terbayang kenikmatan yang
baru saja ia rasakan. "Boleh nggak kalo kapan-kapan kita
begini lagi..?" tanya Adi sambil memelas. Sri mengangguk dan
berkata, "Boleh sayang.. kapan pun kamu mau, kamu tinggal
bilang, tapi janji jangan sampai orang lain tau." Demikianlah
semenjak kejadian itu Adi dan Sri sering melakukannya
setiap ada kesempatan. Nantikan cerita selanjutnya yang
pasti akan lebih seru, karena Surti kakak Adi dan
pembantunya Sasma turut ikut serta dalam skandal dalam
keluarga itu, dan juga suami Surti kelak.

Cerita Seru - Ngesex Bersama 3 bersaudara

Sebelumnya kuperkenalkan diri namaku Rudy tinggi 170 cm berat badan 55 kg umurku sekarang 20 tahun asalku dari Sragen sekarang aku telah masuk jenjang perguruan tinggi negeri di kota Solo.

Pengalaman seks yang pertama kualami terjadi sekitar 4 tahun lalu, tepatnya waktu aku masih duduk di bangku SMU kelas 1 berumur 16 tahun. Karena rumahku berasal dari desa maka aku kost dirumah kakakku. Saat itu aku tinggal bersama kakak sepupuku yang bernama Mbak Fitri berusia 30 tahun yang telah bersuami dan mempunyai 2 orang putri yang masih kecil-kecil, namun di tempat tinggal bukan hanya kami berempat tapi ada 2 orang lagi adik Mbak Fitri yang bernama Wina waktu itu berumur 19 tahun kelas 3 SMK dan adik dari suami kak Fitri bernama Asih berusia 14 tahun.

Kejadian tersebut terjadi karena seringnya aku mengintip mereka betiga saat mandi lewat celah di dinding kamar mandi. Biarpun salah satu dianatara mereka suadah berumur kepala 3 tapi kondisi tubuhnya sangat seksi dan menggairahkan payudaranya montok, besar dan belahan vaginanya woow…terlihat sangat oh…oooght nggak ku-ku bo…

Saat malam hari saat aku tidur dilantai beralaskan tikar, di ruang tamu yang gelap bersama Mbak Wina, awalnya sich aku biasa-biasa saja tapi setelah lama seringnya aku tidur bersama Mbak Wina maka aku akhirnya tak tahan juga. Malam-malam pertama saat dia tertidur pulas aku cuma berani mencium kening dan membelai rambutnya yang harum. Malam berikutnya aku sudah mulai berani mencium bibirnya yang seksi mungil, tanganku mulai meremas-remas buah dadanya yang padat berisi lalu memijat-mijat vaginanya yang, oh ternyata empuk bagai kue basah yang……oh…oh.., aku melihat matanya masih terpejam pertanda ia masih tertidur tapi dari mulutnya mendesah dengan suara yang tak karuan.

“Ah…..ught…..hhhhhh….hmmmm” desahan Mbak Wina mulai terdengar.
Tanganku terus bergerilya menjamah seluruh tubuhnya.saat aku menciumi vaginanya yang masih tertutup calana, ia mulai terbangun aku takut sekali jangan-jangan ia akan berteriak atau marah-marah tapi dugaan ku meleset.
Ia malah berkata, ”Dik teruskan….. aku sudah lama mendambakan saat-saat seperti ini ayo teruskan saja……..”
Bagai mendapat angin segar aku mulai membuka t-shirt yang ia gunakan kini terpampang buah dada yang seksi masih terbungkus BH. BH-nya lalu kubuka dan aku mulai mengulum putingnya yang sudah mengeras gantian aku emut yang kiri dan kanan bergantian.

“Mbak, maafkan aku tak sanggup menahan nafsu birahiku!”
“Nggak apa-apa kok dik aku suka kok adik mau melekukan ini pada mbak karena aku belum pernah merasakan yang seperti ini” jawab Mbak Wina.
Setelah puas kupermainkan payudarnya lalu aku mulai membuka rok bawahannya.biarpun kedaan gelap gulita aku tahu tempat vagina yang menggiurkan, terus kubuka CD nya, lalu kuciumi dengan lembut.
“Cup…cup…sret…. srettttttttttt”, suara jilatan lidahku.
“Ought……ought….terus dik enak…..!!!”
Karena takut ketahuan penghuni rumah yang lain aku dengan segera mengangkan kedua kakinya lalu kumasukkan penisku yang mulai tegang kedalam vaginanya yang basah.

“Ehmm…oh…ehhhhh…. mmmmhhh”, rintih kakakku keenakan.
Setelah kira-kira setengah jam aku mulai merasakan kenikmatan yang akan segera memuncak demikian juga dengan dia.
“Crot..cret…crettttttt…. crettttttttttt”, akhirnya spermaku kukeluarkan di dalam vaginanya.
“Oh……”
Rupanya ia masih perawan itu kuketahui karena mencium bau darah segar.
“Terima kasih dik kamu telah memuaskan Mbak, Mbak sayang padamu lain kali kita sambung lagi yach?”
“Ok deh mbak”, sahutku.

Setelah selesai memakai pakaian kembali aku dan dia tidur berpelukan sampai pagi. Sebenarnya kejadian malam itu kurang leluasa karena takut penghuni rumah yang lain pada tahu,sehingga suatu ketika kejadian itu aku ulang lagi.
Masih ingat dalam ingatan hari itu minggu pagi,saat mbak Fitri dan adiknya Asih bersama keuarga yang lain pergi ke supermarket yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.Karena keadaan rumah yang sepi yang ada hanya aku dan Mbak Wina, aku mulai menutup seluruh pintu dan jendela. Kulihat Mbak Wina sedang menyeterika dengan diam-diam aku memeluknya dengan erat dari balakang.

“Dik jangan sekarang aku lagi nyetrika tunggu sebentar lagi yach…… sayang….!” pinta Kak Wina.
Tapi aku yang sudah bernafsu nggak memperdulikan ocehannya, segera kumatikan setrika, kuciumi bibirnya dengan ganas.
“Hm…eght…. hmmmmm……. eght…!”

Karena masih dalam posisi berdiri sehingga tak leluasa melakukan cumbuan, aku bopong ia menuju ranjang kamar.
Kubaringkan ia di ranjang yang bersih itu lalu segera kulucuti semua pakaiannya dan pakaian ku hinggas kami berdua telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menempel. Wow……tubuh kakakku ini memang benar sempurna tinggi 165 cm berat sekitar 50 kg sungguh sangat ideal, payudaranya membusung putih bagaikan salju dengan puting merah jambu dan yang bikin dada ini bergetar dibawah pusarnya itu lho……. bukit kecil kembar ditengahnya mengalir sungai di hiasai semak-semak yang rimbun.

Kami berdua tertawa kecil karena melihat tubuh lawan jenis masing-masing itu terjadi sebab saat kami melakukan yang pertama keadaan sangat gelap gulita tanpa cahaya. Sehingga tidak bias melihat tubuh masing-masing.
Aku mulai menciumi muka tanpa ada yang terlewatkan, turun ke lehernya yang jenjang kukecupi sampai memerah lalu turun lagi ke payudaranya yang mulai mengeras, kujilati payudara gantian kanan kiri dan kugigit kecil bagian putingnya hingga ia menggelinjang tak karuan.

Setelah puas bermain di bukit kembar tersebut aku mulai turun ke bawah pusar, ku lipat kakinya hingga terpampang jelas seonggok daging yang kenyal di tumbuhi bulu yang lebat. Lidahku mulai menyapu bagian luar lanjut ke bagian dinding dalam vagina itu, biji klitorisnya ku gigit pelan sampai ia keenakan menjambak rambutku.
“Ught..ugh…hah oh….oh…..”desahan nikmat keluar dari mulut Kak Wina.

Setelah kira-kira 15 menit aku permainkan vaginanya rasanya ada yang membanjir di vaginanya rasanya manis asin campur aduk tak karuan kusedot semua cairan itu sampai bersih, rupanya ia mulai orgasme. Mungkin saking asyiknya kami bercumbu tanpa kami sadari rupanya dari tadi ada yang memperhatikan pergumulan kami berdua, Mbak Fitri dan adik suaminya, Asih sudah berdiri di pinggir pintu. Mungkin mereka pulang berdua tanpa suaminya dan kedua anaknya yang masih mampir ke rumah Pakdhenya mereka ketuk pintu tapi nggak ada sahutan lalu mereka menuju pintu daur yang lupa tak aku kunci. Aku dan Mbak Wina kaget setengah mati, malu takut bercampur menjadi satu jangan-jangan mereka marah dan menceritakan kejadian ini pada orang lain. Tapi yang terjadi sungguh diluar dugaan kami berdua, mereka bahkan ikut nimbrung sehingga kami menjadi berempat.

“Dik main gituan kok kakak nggak di ajak sich kan kakak juga mau, sudah seminggu ini suami kakak nggak ngajak gituan”, ucap Mbak Fitri.
“Ini juga baru mulai kak!” sahutku.
“Mas aku boleh nyoba seks sama Mas?” tanya Asih.
“Boleh”.
Aku dan Kak Wina selanjutnya menyuruh mereka berdua melepas seluruh pakaiannya.
“Ck.. ck…ck……ck……”, guman ku.
Sekarang aku dikerubung 3 bidadari cantik sungguh beruntung aku ini.

Mbak Fitri tubuhnya masih sangat kencang payudaranya putih agak besar kira-kira 36 B vaginanya indah sekali. Sedangkan Asih tubuhnya agak kecil tapi mulus, dadanya sudah sebesar buah apel ukuranya 34 A vaginanya kelihatan sempit baru ditumbuhi bulu yang belum begitu lebat. Pertama yang kuserang adalah Mbak Fitri karena sudah lama aku membayangkan bersetubuh dengannya aku menciumi dengan rakus pentilnya kuhisap dalam-dalam agar air susunya keluar, setelah keluar kuminum sepuasnya rupanya Mbak Wina dan Asih juga kepingin merasakan air susu itu sehingga kami bertiga berebut untuk mendapatkan air susu tersebut, sambil tangan kami berempat saling remas, pegang dan memasukam ke dalam vagina satu sama lain.

Setelah puas dengan permainan itu, aku meminta agar mereka berbaring baris sehingga kini ada 6 gunung kembar yang montok berada di depanku. Aku mulai mengulum susu mereka satu per satu bergantian sampai 6, aku semakin beringas saat kusuruh mereka menungging semua, dari belakang aku menjilati vagina satu persatu rasanya bagai makan biscuit Oreo di jilat terus lidahku kumasukkan ke dalam vagina mereka.

Giliran mereka mengulum penisku bergantian.
“Hoh…. hoooooooooo…… hhhhhhhhhh…… ehmmmmmmmmm”, desah mereka bertiga.
Aku yang dari tadi belum orgasme semakin buas memepermainkan payudara dan vagina mereka, posisi kami sekarang sudah tak beraturan. Saling peluk cium jilat dan sebagainya pokok nya yang bikin puas, hingga mereka memberi isyarat bahwa akan sampai puncak.
“Dik aku mau keluar”
“Mas aku juga”
“Aku hampir sampai”, kata mereka bergantian.
“Jangan di buang percuma, biar aku minum!”, pintaku
“Boleh”, kata Mbak Fitri.
Aku mulai memasang posisi kutempelkan mulutku ke vagina mereka satu persatu lalu kuhisap dalam-dalam sampai tak tersisa, segarnya bukan main.
“Srep.., srep”.
Heran, itulah yang ada di benakku, aku belum pernah nge-sex sama mereka kok udah pada keluar, memang mungkin aku yang terlalu kuat.

Karena sudah tidak sabar aku mulai memasukkan penisku de dalam vagina Mbak Wina kugenjot naik turun pinggulku agar nikmat, sekitar 5 menit kemudian aku gantian ke Kak Fitri, biarpun sudah beranak 2 tapi vaginanya masih sempit seperti perawan saja.
“Dik enak……. Uh…… oh…..terussssssss!”, desahnya.
“Emang kok Kak…….. hhhhhhh ehmm…..”
“Mas giliranku kapan..?”, rupanya Asih juga sudah tak tahan.
“Tunggu sebentar sayang.“

Sekitar 10 menit aku main sama kak Fitri sekarang giliran Asih, dengan pelan aku masukkin penisku, tapi yang masuk hanya kepalanya. Mungkin ia masih perawan, baru pada tusukan yang ke 15 seluruh penisku bisa masuk ke liang vaginanya.
“Mas....... sakit..... mas...... oght........ hhohhhhhh.......”, jerit kecil Asih.
“Nggak apa-apa nanti juga enak, Sih!”, ucapku memberi semangat agar ia senang.
“Benar Mas sekarang nikmat sekali... oh.. ought..”

Rupanya bila kutinggal ngeseks dengan Asih, kak Fitri dan Kak Wina tak ketinggalan mereka saling kulum, jilat dan saling memasukkan jari ke vaginanya masing-masing. Posisiku di bawah Asih, di atas ia memutar-mutar pinggulnya memompa naik turun sehingga buah dadanya yang masih kecil terlihat bergoyang lucu, tanganku juga tidak tinggal diam kuremas-remas putingnya dan kusedot, kugigit sampai merah.

Karena sudah berlangsung sangat lama maka aku ingin segera mencapai puncak, dalam posisi masih seperti semula Asih berjongkok di atas penisku, kusuruh Mbak Fitri naik keatas perutku sambil membungkuk agar aku bisa menetek, eh..., bener juga lama-lama air susunya keluar lagi, kuminum manis sekali sampai terasa mual. Mbak Wina yang belum dapat posisi segera kusuruh jongkok di atas mulutku sehingga vaginanya tepat di depan mulutku, dan kumainkan klitorisnya.
Ia mendesah seperti kepedasan.

“Ah......... huah........ hm.......!”
Tanganku yang satunya kumasukkan ke vagina Mbak Fitri, kontolku digarap Asih, mulutku disumpal kemaluan Mbak Wina, lengkap sudah.
Kami bermain gaya itu sekitar 30 menit sampai akhirnya aku mencapai puncak kenikmatan.
“Ought......... hmmmmmm...... cret... crot.....”
“Enak Mas.......!” desah Asih.
Spermaku ku semprotkan kedalam vagina Asih dan keluarlah cipratan spermaku bercampur darah menandakan bahwa ia masih perawan. Kami berempat sekarang telah mencapai puncak hampir bersamaan, lelah dan letih yang kami rasakan.
Sebelum kami berpakaian kembali sisa-sisa sperma di penisku di jilati sampai habis oleh mereka bertiga. Setelah kejadian itu kami selalu mengulanginya lagi bila ada kesempatan baik berdua bertiga maupun berempat.

Namun sekarang kami sudah saling berjauhan sehingga untuk memuaskan nafsu birahiku aku sering jajan di kafe-kafe di kota Solo ini ataupun dengan teman-teman wanita di tempat kuliah yang akrab denganku. Tapi tak satu pun dari mereka yang menjadi pacarku.

Cerita Seru - Tante Yani (1)

Tante Yani [1]

Jakarta! Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.
Boleh dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang muridnya 100% lelaki.
Pembaca yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan. Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.
Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?
***
Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari.
Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.

Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli.

Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.

Orangnya lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!
***
Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang.

He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..
***
Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”. Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku.

Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.

Kamis, 24 Januari 2013

Cerita Seru - Ngentot Kakak di Mobil

Seperti sudah menjadi ritual di hari Minggu, pagi itu aku
bersama Winnie menyaksikan acara gosip di ruang
keluarga. Ketika sedang serius menonton, tiba-tiba Dewi
adik bungsuku muncul. Lalu dengan gayanya yang cuek dia
ikut duduk di antara aku dan Winnie.
"Aduuh! Sempit nih De!! Lagian ngapain sih pake ikut-ikutan
segala!?" protes Winnie karena acara menontonnya jadi
terganggu.
Tentu saja aku tertawa melihat Winnie yang marah-
marah sedangkan Dewi tidak menghiraukannya sama
sekali.
"Teh, jalan-jalan ke ITC yuk! Ibu juga mau tuh." ajak Dewi
dengan ceria.
"Boleh aja. Tapi Dewi beliin Teteh baju yah." candaku.
"Yeee.!! Ada juga Teteh tuh yang baru gajian beliin Dewi!"
kata Dewi sambil menjulurkan lidahnya.
Ibu yang tanpa sengaja menyaksikan tingkah laku anak-
anak gadisnya hanya dapat tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya udah. Nanti biar Ibu yang beliin baju buat Dewi deh.
Sekarang pada siap-siap sana." ujar Ibu pada kami.
"Asyiiik!! Emang Ibu paling baik sedunia deh.!" teriak Dewi
kegirangan sambil masuk ke kamarnya kemudian disusul
oleh Winnie yang masih terlihat malas untuk beranjak dari
duduknya.
"Teteh bangunin Amar dulu sana. Nanti takut kesiangan
jalannya." lanjut Ibu ketika aku baru saja hendak masuk ke
dalam kamar.
"Iya Bu." jawabku lalu segera berbalik untuk menuju ke
kamar adik laki-lakiku.
"Tok. Tok. Tok. Maaar!! Amaaaar.!! Bangun Maaaar.!!" aku
mengetuk pintu kamar adikku dari luar dengan cukup
keras sambil meneriakkan namanya.
Cukup lama aku berusaha membangunkan adikku, namun
belum juga terdengar sahutannya dari dalam. Akhirnya
aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar adikku
karena pintunya juga tidak dalam keadaan terkunci.
Setibanya di dalam aku mendapati adikku sedang tertidur
pulas dengan posisi terlentang. Aku menggoyang-
goyangkan tubuhnya, namun tetap saja belum ada
sedikitpun tanda-tanda dia akan terbangun.
"Pasti si Amar pulang pagi lagi deh makanya nyenyak
banget tidurnya." keluhku dalam hati.
Di saat aku terus berusaha membangunkan adikku, tanpa
sengaja aku melihat penisnya sedang tegak berdiri di balik
celananya. Tiba-tiba muncul pikiran isengku untuk
membuat adikku terbangun dari tidur pulasnya. Aku
kemudian bangkit dari tepi ranjang lalu menuju pintu
kamar untuk menutup serta menguncinya. Setelah yakin
keadaan telah aman, dengan perlahan aku menurunkan
celana pendek beserta celana dalam milik adikku. Penisnya
yang panjang dan kurus itu kini sudah keluar dari
sarangnya. Tanpa ragu lagi aku segera mengocok
penisnya dengan perlahan-lahan.
"Eeeehmmm. Teeeeeh. Teeteeeeh. Eeehmmm." di dalam
tidurnya adikku mendesah sambil menyebut-nyebut
namaku saat aku sedang menaik-turunkan penisnya.
"Si Amar pasti lagi ngimpiin aku yang nggak-nggak deh."
pikirku yang sempat menyangka kalau Amar sudah
tersadar dari tidurnya.
Mendengar igauan adikku tadi membuat aku jadi semakin
semangat untuk mengocok penisnya dengan lebih cepat
lagi. Tidak sampai 5 menit kemudian, penis milik adikku
menyemprotkan spermanya dalam jumlah banyak ke
tanganku bahkan hingga menetes ke paha serta tempat
tidurnya. Dengan sangat bernafsu aku pun menjilati
sperma adikku yang masih menempel di tangan.
"Mmmmm. Enak banget rasa spermanya Amar." aku
menggumam pelan sambil menikmati rasa sperma adikku.
Setelah selesai aku pun kembali merapihkan celana adikku
seperti keadaan semula. Tidak berapa lama setelah itu dia
pun membuka matanya. Wajah adikku terlihat sedikit
terkejut melihat kehadiranku yang sudah berada di
sebelahnya.
"Eh, Te-teteh. Masa barusan Amar ngimpi ngentot sama
Teteh." kata adikku dengan polos sambil mengucek-
ngucek matanya.
"Dasar kamu Mar.!! Makanya kalo tidur jangan kelamaan.
Jadi ngimpi yang nggak-nggak tuh.!" jawabku sambil
menahan senyum mendengar ucapan adikku.
"Abisnya Amar udah lama banget sih nggak ngentot
sama Teteh. Sampe celana Amar basah kayak gini.!" kata
adikku sambil menunjuk ke arah celananya.
"Udah deh Mar nggak usah bahas itu lagi. Mendingan Amar
sekarang mandi aja sana. Terus anterin belanja ke ITC
yah." kataku yang tetap merahasiakan kejadian
sebenarnya.
"Iya deh Teh." jawab adikku ketika aku sudah beranjak
untuk keluar dari kamarnya.
Setelah selesai bersiap-siap aku pun menuju mobilku yang
diparkir di depan rumah. Aku mengambil duduk di sebelah
adik laki-lakiku yang bertugas menjadi supir karena seperti
biasa Ayah jarang mau ikut apabila diajak pergi ke Mal.
"Hari ini Teteh cantik banget sih." bisik adikku yang terus
menatapku dengan pandangan kagum walaupun saat itu
aku hanya memakai kaos putih berkerah dan celana jins
ketat warna biru.
"Kakak sendiri kok digombalin sih." kataku dalam hati
namun tetap saja pujian tersebut membuat aku jadi
tersipu malu.
Setelah kami semua sudah berada di dalam mobil,
akhirnya kami pun berangkat. Selama di perjalanan
pikiranku selalu menerawang bayangan-bayangan
imajinasi liar untuk melakukan persetubuhan dengan adik
laki-lakiku seperti yang dulu sering kami lakukan.
"Aku jadi pengen bersetubuh sama Amar lagi deh. Mungkin
untuk terakhir kalinya." keinginanku untuk melakukan hal
tersebut semakin kuat karena aku juga yakin kalau adikku
ingin melakukan hal yang sama.
Sebenarnya beberapa bulan lalu kami berdua sepakat
tidak akan pernah lagi melakukan perbuatan terlarang
tersebut, dikarenakan aku dan pacarku telah
merencanakan untuk melangsungkan pernikahan kami
tahun ini. Walaupun aku masih teringat akan janji kami itu,
namun tetap saja aku tidak dapat menghilangkan pikiran
tersebut, apalagi ditambah kenyataan kalau tadi pagi aku
baru saja merasakan sperma milik adikku.
"Lagi mikirin apa sih Teh? Kok dari tadi diem aja sih?"
tanya adik laki-lakiku memecahkan lamunanku.
"Ng-nggak kok Mar. Cuma lagi kepikiran kerjaan aja."
jawabku berbohong.
"Oh gitu? Tapi kalo Teteh mau cerita, Amar mau kok
ngedengerin." sambungnya lagi.
"Makasih ya Mar. Sekarang Amar konsen nyetir aja sana!
Entar nabrak lagi." kataku bercanda.
Karena tersadar kalau percakapan aku dengan Amar
tadi dapat terdengar oleh Ibu serta adik-adik
perempuanku, maka aku segera menoleh ke bangku
belakang. Perasaanku sungguh lega karena ternyata aku
mendapati mereka bertiga sedang tertidur lelap.
"Untung aja. Jadi mereka nggak denger obrolan aku sama
Amar barusan." karena aku takut kalau Ibu mendengar
percakapan kami tadi beliau akan menjadi kuatir
berlebihan.
Setelah menempuh sekitar 1 jam perjalanan kami pun
akhirnya tiba. Seperti halnya pada hari-hari libur, di depan
jalan sudah penuh dengan mobil yang antri agar
mendapatkan parkir di dalam gedung. Karena takut
membuang waktu terlalu lama, Amar menyuruh kami
semua untuk turun di depan lobi utama, kemudian nanti
dia akan menyusul ke dalam.
"Bu, Teteh nemenin Amar nyari parkir aja deh. Kasihan
Amar. Entar nyasar lagi! Ibu, Winnie sama Dewi duluan aja."
kataku yang melihat ini adalah kesempatan untuk dapat
berdua saja dengan adik laki-lakiku.
Kelihatannya mereka tidak curiga dengan permintaanku
karena alasan yang aku berikan cukup masuk akal.
Tempat ini memang lebih sering aku datangi bersama
pacarku bila dibandingkan oleh Amar yang baru beberapa
kali saja. Akhirnya kami janjian untuk bertemu di Food
Court karena Winnie dan Dewi sudah kelaparan.
"Teteh baik banget sih pake nemenin Amar segala." kata
Amar ketika sedang mencari tempat parkir yang kosong.
"Nanti juga Amar tau kok kenapa Teteh mau nemenin."
kataku sambil tersenyum penuh arti yang membuat
wajah adikku jadi terlihat bingung.
Karena mendapati setiap lantai sudah terisi penuh, maka
kami terus mencari parkir hingga ke tingkat paling atas.
Ketika sampai di sana, aku melihat kondisi pelataran parkir
tersebut sangatlah sepi, paling hanya diisi sekitar 10 mobil
saja. Mungkin karena banyak orang yang malas untuk
parkir hingga ke lantai atas, sehingga mereka lebih memilih
untuk parkir di luar gedung saja. Namun sungguh
kebetulan karena memang suasana seperti inilah yang
aku harapkan.
"Mar, parkir di sana aja tuh." aku menunjuk sebuah
tempat kosong yang berada di sudut dan jauh dari mobil-
mobil lainnya.
Dengan segera adikku mengarahkan mobil kami untuk
menuju tempat yang aku tunjuk tadi. Tempat tersebut
ternyata cukup gelap karena tidak terlalu terjangkau oleh
sinar matahari maupun lampu penerangan, dikarenakan
tempatnya yang memang cukup terpencil.
"Mar. Teteh jujur aja kalo sebenarnya Teteh masih sering
kepikiran tentang kita." kataku setelah Amar selesai parkir
dan mematikan mesin mobil.
"Maksudnya Teteh apa sih?" tanya adikku yang
sepertinya memang belum mengerti apa maksud
perkataanku.
"Eeemm. Teteh pengen gituan lagi sama Amar." jawabku
terus terang.
"E-eh. Te-teteh serius nih?" adikku bertanya dengan
gugup.
Pertanyaan adikku tadi hanya aku jawab dengan
anggukan lalu secara perlahan-lahan aku mulai
mendekatkan wajahku ke arahnya. Aku dapat
merasakan hembusan nafas adikku yang memburu di
wajahku. Kemudian aku lingkarkan tanganku pada
lehernya dan bibir kami mulai saling bertemu. Aku
mengeluarkan lidah menjilati bibirnya, adikku juga ikut
mengeluarkan lidahnya untuk membalas perbuatanku.
Ciuman kami semakin panas seiring dengan gairah yang
membara di dalam diri kami. Suara-suara kecupan
bercampur dengan erangan tertahan ditambah oleh
nafas kami yang semakin tidak beraturan.
Wajah adikku kini merambat turun hingga ke leher
mulusku, kemudian dengan bibir serta lidahnya dia
mencium dan menjilat dengan penuh nafsu. Sambil terus
menciumi leherku, tangan adikku meremas-remas
payudaraku yang masih terbungkus pakaian lengkap.
"Eeeemmmhhh." desahku sangat pelan.
Tidak puas dengan hanya memegang payudaraku dari
luar saja, tangan adikku mulai menarik ujung kerah bajuku
ke atas hingga akhirnya terlepas seluruhnya. Kini bra
milikku yang berwarna pink dan perutku yang mulus jadi
terlihat. Dengan cepat kedua tangan adikku meraih tali
bra tersebut, kemudian dia membuka kaitannya hingga kini
payudaraku sudah tidak tertutup apa-apa lagi.
Memang payudaraku tidak besar bentuknya, namun tetap
saja menantang untuk diraba dan diremas oleh siapapun
yang melihatnya. Sementara kedua putingku yang
berwarna kecoklatan nampak nikmat untuk dikulum.
Kedua tangan adikku kini memegang masing-masing buah
dadaku. Kemudian aku pun mulai memejamkan mata
karena ingin lebih menghayati dan menikmati rabaan dan
remasan adikku sehingga dia pun juga semakin bernafsu.
Kini adikku meremas-remas kedua payudaraku sambil
memilin kedua putingnya dengan jari-jarinya yang panjang
hingga membuatnya semakin tegang. Tampak putingku
yang kecoklatan sudah sangat mengeras akibat ulah
adikku.
"Oooooooh. Ooooohhhh. Aaaaaaaaaah." aku merintih tidak
karuan.
Aku tidak tahu persis berapa lama buah dadaku menjadi
bulan-bulanan adikku. Namun yang aku sadari hanya
darahku semakin berdesir ketika adikku kini mulai
menyedot-nyedot puting payudaraku. Aku yang merasa
semakin terangsang hanya dapat menggunakan kedua
tanganku untuk mengelus-elus kepala adikku yang sedang
menghisap payudaraku. Tubuhku bergetar hebat
merasakan payudaraku dihisap habis oleh adikku.
"Aaaaaghhh. Amaaar. Teeruuuuus." aku melenguh ketika
dengan semakin rakus adikku melumat payudaraku.
Tangan adikku ternyata tidak tinggal diam, sambil terus
melumat payudaraku tangannya memainkan vaginaku
yang masih tertutup dengan celana jeans.
"Mar. Teteh pengen isepin penis Amar sekarang." aku
berkata pelan sambil menatap adikku.
Tentu saja mendengar permintaanku tanpa pikir panjang
lagi adikku langsung melucuti celananya sendiri hingga kini
terpampang jelas penisnya sudah tegak berdiri seperti
tiang bendera.
"Kok udah tegang kayak gitu aja sih Mar? Pasti Amar
udah nggak tahan ya?" tanyaku dengan nada menggoda.
"I-iyaa Teh.! Abis udah lama banget nggak pernah
disepong sama Teteh lagi." jawab adikku dengan wajah
malu-malu.
Tanpa rasa canggung dan ragu, akupun memegang dan
mengocok perlahan penis adikku. Nafsu birahiku sepertinya
sudah menguasai diriku sampai aku lupa bahwa sekarang
kami berdua sedang melakukan hal ini di dalam parkiran
mobil yang sewaktu-waktu bisa saja ada satpam atau
orang lain yang datang memergoki kami.
'Pleeekhh. Pleeekk. Pleeekkk.' terdengar suara kocokan
tanganku pada batang penis Amar yang semakin
menegang saja.
"Uuuuuuugghhh. Teeeeeh.!!" Amar melenguh-lenguh ketika
aku bermain pada penisnya.
"Teeeh. Amaaar nyalain AC dulu yaaah. Jadi panaaass
nih!" kata adikku yang memang dahinya sudah tampak
penuh dengan keringat.
Aku hanya mengangguk lalu menghentikan kocokanku
tanpa menjawab pertanyaan adikku terlebih dahulu.
Seperti tidak mau kehilangan waktu sedikitpun, dengan
terburu-buru adikku memutar kunci mobil yang masih
menempel pada kontak, kemudian segera menyalakan AC.
Di saat jeda itu aku baru tersadar kalau ternyata
tubuhku juga sudah basah oleh keringat.
"Lanjutin lagi dong Teh.! Udah nggak tahan nih.!" pinta
Amar setelah udara di dalam mobil menjadi lebih sejuk.
Aku langsung meraih penis tersebut dan berkata "Amar
udah siap diisepin sama Teteh?"
Tanpa perlu menunggu jawaban dari adikku terlebih
dahulu, aku pun langsung memasukan penis tersebut ke
dalam mulut.
"Mmmmmmhh." aku dengan cepat mengulum dan
memainkan lidahku pada penis Amar.
"Aggghhh.!! Iseeep teruuus Teeeeehh.!! Iyaaaah. Eenaaak
bangeeeeet.!!" kata adikku yang kini mendesah dan
mengerang keenakan menikmati apa yang aku lakukan
pada penisnya.
Sekilas tercium bau keringat dari penis adikku sehingga
aku harus sedikit menahan nafas. Namun aku terus saja
memasukkannya lebih dalam ke mulutku lalu mulai
memaju-mundurkan kepalaku. Selain menghisap,
terkadang tanganku juga turut aktif mengocok penisnya.
"Aaaaaaaaaaahh. Teteeeeh makiin jagooo ajaaaa
nyepongnyaaaaa.!!" ceracau adikku karena saat itu aku
memang mengeluarkan semua teknik oralku.
Kedua tangan adikku membelai rambutku dengan lembut
selagi aku terus berusaha membuat penisnya semakin
menegang. Sesekali aku menatap nakal pada adikku, agar
dia semakin terangsang. Tidak lama kemudian tangan
adikku mulai bergerak untuk meraba-raba kedua
payudaraku selagi aku sedang menikmati penisnya.
"Mmmhh. Slurrrp. Mmmmhh." tentu saja saat ini aku tidak
bisa bebas mendesah ketika kurasakan tangan adikku
semakin kencang meremas dadaku.
"Mmmmh. Aaaaaaahh. Maaaar.!!" karena tidak kuat lagi
akhirnya aku mendesah hingga untuk sesaat penis adikku
terlepas dari kulumanku.
"Kok berhenti sih Teh? Terusin lagi dong. Enak banget
sepongannya Teteh!" dengan kurang ajar adikku
menjejalkan penisnya ke dalam mulutku.
"Mmmppph." aku merintih tertahan lalu melanjutkan
hisapanku yang sempat tertunda.
"Oooooooh. Teteeeeeeeeh.!!" adikku mulai menjambak
rambutku dengan kencang karena mungkin dia tidak
mampu menahan kenikmatan yang dirasakannya.
Penis adikku itu kujilat memutar, lalu kepala penisnya
kuhisap kuat-kuat dan beberapa saat kemudian penis itu
kembali kucelupkan ke dalam kuluman mulutku. Namun
karena tangan adikku masih saja terus-terusan bermain
pada kedua payudaraku, maka beberapa kali aku
melenguh tertahan karena mulutku penuh dengan
penisnya.
Mungkin karena adikku tidak mau cepat-cepat mengalami
ejakulasi dia berkata "Udah dulu Teh.! Sekarang giliran
Amar yang muasin Teteh yah." sambil menarik pelan
kepalaku hingga hisapanku pada penisnya terlepas.
Kemudian aku membuka celana panjang dan menurunkan
celana dalamku yang juga berwarna pink. Sehingga
sekarang terlihatlah vaginaku yang tanpa dihiasi bulu
sedikitpun. Adikku memperhatikan sejenak kemaluanku
sambil mengelus pelan bibir bagian luarnya.
"Memek Teteh masih rapet aja." adikku terkagum-kagum
walaupun ini bukan pertama kalinya dia memegang
vaginaku.
Lalu dengan tidak sabar jari-jari tangannya membelai
kemaluanku yang memang tampak menggoda. Dua jarinya
kemudian masuk ke dalam dan mengelus-elus dinding
vaginaku sekaligus mencari klitorisku. Ketika menemukan
titik rangsangan itu, adikku semakin gencar memainkan
benda tersebut sehingga tubuhku semakin tidak terkendali
dan terus menggeliat-geliat.
"Aaaaaaaaaahh." aku mendesah-desah karena jari adikku
terus menyentuh bagian tersebut.
Walaupun AC di dalam mobil menyala cukup dingin, namun
butir-butir keringat seperti embun semakin membanjiri
wajah dan tubuhku yang menandakan betapa
terangsangnya aku. Supaya lebih memudahkan Amar, aku
kemudian mengangkat paha sebelah kananku hingga
berada di bangku yang sedang diduduki adikku hingga kini
aku berada dalam posisi mengangkang.
Dengan kedua jarinya, adikku membuka bibir vaginaku
sehingga udara dingin dari AC menerpanya dan
membuatku semakin merinding. Tubuhku semakin
bergetar ketika dengan penuh nafsu Amar mulai
membenamkan wajahnya dan menjilat-jilat vaginaku.
"Oooohhh. Teruuuuushhh Maaar!! Enaaaaak." aku
berteriak-teriak menikmati jilatan adikku.
Adikku yang sekarang sudah jauh lebih berpengalaman,
memainkan lidahnya dengan jitu pada klitorisku, sedangkan
jari tengahnya menerobos lubang vaginaku. Jendela mobil
yang dalam keadaan tertutup rapat membuat aroma
khas dari vaginaku segera menyebar di dalam mobil yang
justru membuat adikku semakin bernafsu memainkan
lidahnya.
"Eenngghh. Teruuuuus Maar.!!" aku menggeliat merasakan
lidah adikku bergerak liar merangsang setiap titik peka
pada vaginaku.
Aku sungguh menikmati permainan jilatan dari adikku
hingga otot vaginaku semakin menegang. Birahiku pun
semakin memuncak yang berakibat tubuhku
menggelinjang hebat.
"Aaaaaaaaaaah. Amaaaaar.!! Teteeeeh keluaaaaaaar.!!"
aku mengerang panjang karena merasakan nikmat yang
tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Permainan lidah dan tangan adikku akhirnya membuatku
mencapai orgasme yang pertama. Tubuhku mengejang
luar biasa hebat! Dengan tangan kiri aku meremas-remas
payudaraku sendiri dan tangan kananku menekan kepala
adikku agar lebih terbenam lagi di selangkanganku. Aku
merasakan vaginaku dihisap kuat oleh adikku dan dengan
rakusnya dia melahap setiap tetes cairan yang terus
mengalir dari sana.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaah.!! U-udaaaah Maaar.! Teteeeh
udaah nggaak kuaaat lagiiii.!!" aku memohon agar adikku
menghentikan jilatan dan hisapannya pada vaginaku.
Tanpa memperdulikan permintaanku, adikku terus
melumat kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya
menyapu seluruh pelosok vaginaku dari bibirnya, klitorisnya
hingga ke dinding bagian dalamnya. Namun perbuatannya
itu memang memberikan sensasi yang luar biasa. Aku
benar-benar telah lepas kontrol dan mataku menjadi
merem-melek dibuatnya. Setelah menyantap cairan
cintaku hingga benar-benar habis barulah adikku
menghentikan hisapannya.
"Dasaaar. Heeeh. Kamuuu nakaaal Maar.!! Heeeh. Heeeeh."
kataku dengan nafas terengah-engah.
"Tapi Teteh suka kan?" tanya adikku yang di pinggir
mulutnya masih tampak lengket dengan cairan
kewanitaanku.
Tanpa dapat berkata apa-apa, aku menganggukkan
kepala tanda setuju sambil tersenyum puas. Seperti tidak
mau memberi kesempatan bagiku untuk beristirahat,
adikku mencium lagi bibirku yang juga kubalas dengan tidak
kalah bernafsu. Selagi kami berciuman aku dapat mencium
aroma tajam dari cairan vaginaku yang melekat pada
mulutnya.
"Mar. Masukin penis kamu ke vagina Teteh dong. Teteh
udah nggak tahan." aku berkata mesra di telinganya
setelah tenagaku pulih kembali.
"Ayo Teh! Tapi biar lebih enak kita pindah ke bangku
belakang aja yah." ajak adikku dengan penuh semangat.
Setelah aku berpikir kalau benar juga apa yang dikatakan
oleh adikku tadi, aku pun menuruti perintahnya untuk
berpindah ke bangku belakang lalu mengambil posisi
tiduran. Sedangkan adikku yang masih berada di
bangkunya, terlihat sedang sibuk membuka bajunya
hingga akhirnya kami berdua sudah dalam keadaan
telanjang bulat. Setelah itu adikku ikut menyusul ke
belakang.
"Jangan kasar-kasar yah Mar." pintaku.
"Iyaaa Teh." jawab adikku ketika sedang berusaha
memasukkan penisnya.
Adikku melebarkan kedua pahaku lalu mengarahkan penis
panjangnya di antara vaginaku. Bibir vaginaku jadi ikut
terbuka siap untuk menyambut penis yang akan
memasukinya. Namun di luar dugaan adikku tidak langsung
mencoblosku, melainkan sengaja dia gesek-gesekkan
terlebih dahulu kepala penisnya pada bibir luar vaginaku
agar semakin memancing birahiku.
"Masukiiiin sekaraaaaang Maaar.!!" karena sudah tidak
sabar ingin segera dicoblos aku pun meraih batang penis
milik adikku yang sudah tegang dan keras sekali lalu
membimbingnya untuk masuk ke dalam vaginaku.
"Uuughhh. Peniiis Amaaaar enaaaak bangeeet.!!" kataku
setelah merasakan penis adikku yang kini hampir
memenuhi seluruh rongga vaginaku.
"Memeeek Teteeeeh jugaa nikmaaat bangeeeet.
Aaaaaaaaah.!!" desah adikku.
Dengan perlahan adikku mulai menggenjot vaginaku yang
sudah mulai basah lagi. Kami berdua sama-sama saling
melampiaskan hasrat dan nafsu yang begitu menggebu-
gebu. Saat melakukan persetubuhan aku sempat berpikir
ada untungnya juga kami parkir di lantai yang sepi dan
letaknya cukup jauh dari mobil-mobil lain, kalau tidak tentu
goyangan-goyangan dari dalam mobil ini pasti akan
mengundang kecurigaan.
"Aaaaaaakkhh." erangku sambil mengepalkan tangan
erat-erat saat penis adikku sudah masuk seluruhnya ke
dalam vaginaku.
Pelan-pelan adikku menarik penisnya lalu ditekan ke dalam
lagi seakan ingin menikmati dulu gesekan-gesekan pada
himpitan vaginaku yang bergerinjal-gerinjal itu. Aku juga
ikut menggoyangkan pinggul dan memainkan otot
vaginaku mengimbangi hentakan penisnya. Ternyata
gerakanku tadi membuat sodokan adikku semakin lama
semakin kencang saja.
"Aaaauuuuuuhhh.!!" aku menjerit lebih keras akibat
hentakan keras dari penis adikku pada lubang vaginaku.
Kuperhatikan selama adikku menyetubuhiku tubuhnya
yang kurus terus bercucuran keringat. Beberapa menit
kemudian adikku menurunkan tubuhnya hingga menindihku.
Aku menyambutnya dengan pelukan erat, sementara
kedua kakiku aku lingkarkan di pinggangnya. Adikku
mendekatkan mulutnya ke leherku lalu memagutnya.
Sementara di bawah sana penis adikku semakin gencar
mengaduk-aduk vaginaku diselingi gerakan berputar.
Tubuh kami berdua sudah berlumuran keringat yang
saling bercampur.
"Aaaaaagh. Aaaaaah. Oooooh." aku terus merintih karena
merasa akan mengalami orgasme kembali.
"Aaaahhh. Teteeeh keluaaar lagiiii Maaaaar.!! Oooohhhh."
aku melenguh panjang ketika aku orgasme untuk yang
kedua kalinya.
Erangan keras tadi menandai orgasme dahsyat
melandaku melebihi yang pertama tadi. Aku pun menjerit
sejadi-jadinya, tidak peduli sedang dimana aku sekarang
ini, untung mobil itu tertutup rapat dari dalam sehingga
suaraku tidak akan terdengar sampai keluar.
"Sekarang giliran Teteh yang di atas yah." tanpa memberi
aku waktu adikku merubah posisi kami sehingga kini aku
berada di atas tubuhnya.
Walaupun masih merasa sangat lelah akibat mengalami
dua kali orgasme, namun tanganku tetap meraih penis
Amar lalu mengarahkannya ke vaginaku.
"Ooohh. Eenak bangeeet Mar!!" kepalaku menengadah
sambil mengeluarkan desahan menggoda saat
menurunkan tubuhku hingga penis adikku melesak masuk
ke dalam vaginaku yang sudah basah.
"Teteeeeh. Oooooohhh. Teteeeeeeeh." Amar juga ikut
mendesah sambil tidak henti-hentinya meneriakkan
namaku.
Kedua tangan adikku memegang sepasang payudara
milikku dan meremasinya. Sesaat kemudian, aku sudah
mulai menaik-turunkan tubuhku di atas penis adikku. Amar
melenguh merasakan bibir vaginaku mengapit penisnya
dan dinding-dinding bergerinjal di dalamnya menggeseki
penisnya di dalam sana. Goyangan naik-turunku semakin
liar dan desahanku pun semakin tak karuan.
Karena berada dalam posisi di atas, aku baru sempat
memperhatikan dari dalam mobil kalau ternyata sudah
cukup banyak mobil lain yang parkir di dekat tempat kami
sekarang. Sebenarnya ada rasa ketakutan yang besar di
dalam diriku apabila kami berdua sampai dipergoki oleh
orang lain dalam keadaan seperti ini. Namun justru inilah
sensasi dari melakukan seks di tempat yang berbahaya.
"Aaaaaaaaaaahhh." aku sungguh menikmati posisi
tersebut dikarenakan penis adikku menancap lebih dalam
pada vaginaku.
Aku mencondongkan badanku lebih ke depan sehingga
payudara milikku mendekati wajah adikku, tanpa diminta
dia langsung melumatnya. Tangan adikku juga ikut
meremasi bongkahan payudaraku dan mulutnya
menggigit-gigit kecil putingnya. Aku merasakan betapa
liang kewanitaanku menjadi tidak terkendali berusaha
menghisap dan melahap alat kejantanan adikku itu
sedalam-dalamnya.
'Clep. Clep. Clep' suara vaginaku yang sudah becek
bergesekan dengan penis milik adikku.
Cairan pelumas vaginaku keluar sangat banyak sehingga
penis adikku semakin lancar keluar masuk vaginaku.
Dengan penuh birahi aku terus menggenjot penis Amar.
Tangan nakal adikku meraih payudara serta pantat
mungilku lalu meremas-remasnya dengan gemas.
"Ooohh. Memeeeek Teteeeeh. Sempiiit bangeeeeet.!!
Enaknyaaaa.!!" adikku terus memuji vaginaku.
Cukup lama aku menaik-turunkan tubuhku dengan liar
dalam posisi di atas hingga akhirnya tubuhku dirasakan
semakin mengejang. Gelombang kenikmatan itu menyebar
ke seluruh tubuh menyebabkan tubuhku berkelejotan dan
mulutku mengeluarkan erangan panjang. Hanya dalam
waktu kurang dari 15 menit aku menggoyangkan tubuhku
di atas adikku, aku pun mengalami orgasme untuk yang
ketiga kalinya!
"Aaaaaaaah. Teteeeeh mauuuu keluaaaaar lagiiii. Oohhhh.
Amaaaar!!" Aku melenguh panjang meresapi kenikmatan
yang melanda tubuhku.
"Amaaaar jugaaa udaaah mau keluaaar Teeeh.!!" teriak
adikku yang akhirnya hampir mencapai klimaks.
'Croooot. Croooot. Croooot.' tidak lama kemudian akhirnya
terdengar suara sperma adikku yang mengisi penuh
rahimku dalam waktu yang sangat lama.
Sementara itu alat kejantanan adikku tetap aku biarkan
terbenam sedalam-dalamnya di liang kewanitaanku
sehingga seluruh cairan birahinya terhisap di dalam
tubuhku sampai tetes terakhir. Aku memang sengaja
berusaha menjepit penisnya erat-erat karena tidak ingin
segera kehilangan benda tersebut dari dalam tubuhku.
Aku sungguh mengagumi keperkasaan adikku yang
mampu membuatku mencapai orgasme hingga beberapa
kali. Selanjutnya kami hanya bisa terhempas kelelahan di
jok belakang itu dengan tubuh bugil kami yang penuh oleh
keringat. Kami berdua berpelukan mesra menikmati sisa-
sisa kenikmatan. Nafas kami saling memburu hingga
akhirnya mulai normal lagi setelah beberapa menit
beristirahat.
"Amar hebat banget sih.! Masa Teteh udah keluar sampe
tiga kali, Amar baru sekali." pujiku sambil mengecup mesra
bibir adikku.
"Berarti nggak percuma dong Amar sering ngentot sama
cewek Amar." katanya terus terang.
Jujur saja aku sedikit tidak rela kalau adikku bersetubuh
dengan wanita lain selain diriku. Namun aku pun harus
belajar menerima semua itu, karena aku pun juga tidak
setia dengannya. Tidak lama kemudian adikku kembali
melumat bibirku dengan lebih lama dan bergairah. Lidah
kami saling beradu dan saling hisap dengan sangat panas.
Sambil terus berciuman, tangan kurus adikku tidak henti-
hentinya menjelajahi seluruh tubuhku. Sentuhan demi
sentuhan adikku kembali menaikkan birahiku.
Dengan gaya nakal aku mendorong dada adikku hingga dia
kini kembali berada dalam posisi telentang. Aku menaiki
wajah Amar kemudian menggeser tubuhku hingga
penisnya berada di atas mulutku, sementara itu mulut
adikku juga tepat di bawah vaginaku.
"Jilatin vagina Teteh yah Mar. Puasin Teee. Aaaaahhh!"
sebelum sempat menyelesaikan kata-kataku lidah adikku
sudah lebih dulu menyapu bibir vaginaku.
Aku membalasnya dengan menjilati kepala penis adikku
yang sudah tampak licin dan berwarna kehitaman. Lidahku
menjilati bagian yang disunat tersebut beserta lubang
penisnya. Aksiku itu membuat tubuh adikku menjadi
bergetar dan mulutnya mengeluarkan lenguhan nikmat.
Seiring birahiku yang naik semakin tinggi, tentu saja aku
semakin bersemangat mengoral penis milik adikku. Aku
hisap benda itu kuat-kuat hingga pipiku sampai terlihat
cekung menghisapi penis tersebut. Tanganku yang halus
juga ikut memijati buah zakar adikku sehingga pasti
menambah kenikmatan baginya. Jari-jari adikku pun ikut
menusuk-nusuk hingga vaginaku semakin basah saja
dibuatnya.
Pinggulku bergoyang dengan liar akibat ulah adikku yang
dengan sangat cekatan menjilati vaginaku yang kini telah
banjir. Adikku juga terlihat semakin bersemangat
menghisap-hisap dan menjilati klitorisku. Tidak mau terus
kalah dengan Amar, aku semakin berusaha mengeluarkan
kemampuan dalam menjilat dan menyedot-nyedot penis
miliknya hingga dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Sebaliknya adikku tetap tidak ingin kalah dengan
mengalami orgasme terlebih dahulu. Sehingga kami berdua
kini saling berlomba merangsang satu sama lain dan
tinggal menunggu saja siapa yang tidak kuat bertahan.
"Teteeeeh nggaaaak kuaaaaaaat lagiiiii.!!
Aaaaaaaaaaaahhhhhhh.!!" lagi-lagi akulah yang menjadi
pecundang karena sudah tidak tahan lagi dirangsang
sedemikian rupa oleh adikku.
Kali ini aku bahkan mengalami orgasme yang sungguh luar
biasa! Saat itu aku sama sekali tidak ingat lagi dengan
keadaan sekitar sehingga aku meracau tidak karuan
sambil berteriak-teriak dengan keras. Sementara itu
vaginaku mengeluarkan cairan yang sangat banyak
hingga membuat wajah adikku jadi basah karenanya.
Adikku terus-menerus merangsang titik-titik sensitif pada
daerah vaginaku hingga membuat tubuhku semakin
menggelinjang.
Tidak berapa lama setelah aku mengalami orgasme,
adikku sudah mulai terlihat tidak tahan lagi dengan
perlakuanku pada penisnya. Apalagi mulutku terus
melakukan hisapan secara terus-menerus.
Hingga akhirnya 'Croooott. Croootttt. Croooott.' sperma
adikku yang hangat, kental serta memiliki bau yang khas,
keluar dengan sangat banyak ke dalam mulut mungilku.
"Ooooohh. Sedoot teruus Teeeh!! Enaaaak. Teleeen pejuuu
Amaaar semuanyaaaa.!!" perintah adikku agar menelan
seluruh sperma yang dikeluarkan dari penisnya dengan
mulutku sampai betul-betul habis.
Setelah selesai meminum sperma adikku yang terasa
sangat nikmat di mulut, aku pun meraih batang penisnya
lalu menghirup dalam-dalam aroma spermanya. Dengan
perlahan aku menjilati sisa sperma adikku yang masih
menempel hingga penisnya menjadi mengkilap dan licin
kembali.
"Emang paling mantep deh sepongannya Teteh.!" kata
adikku memuji pelayananku.
Setelah tenaga kami sudah terasa habis, kami berdua
hanya bisa menyenderkan tubuh di kursi belakang. Selama
kami tersandar lemas di bangku belakang, suasana di
dalam mobil menjadi hening. Hanya terdengar suara desah
nafas dan juga suara tiupan AC mobil yang angin
dinginnya menerpa tubuh telanjang kami berdua.
"Ternyata mimpi Amar bener-bener jadi kenyataan." kata
adikku yang nampak tersenyum puas.
Seperti layaknya sepasang kekasih, aku menyandarkan
kepalaku di pundak Amar sambil memeluk badannya yang
kurus. Kemudian kami berciuman kembali sambil saling
menggoda dan bercanda menikmati saat-saat terakhir
sebelum akhirnya berbenah diri.
"Aduh Mar!! Kita udah satu jam lebih nih.! Nanti bilang apa
ke Ibu?" aku berteriak kaget ketika melihat ke arah jam
tanganku.
"Tenang aja Teh! Bilang aja nyari parkirnya susah, terus
Teteh bilang aja sekalian liat-liat baju." jawab adikku
dengan santainya.
"Iiih. Amar emang pinter banget deh kalo nyari alesan.!"
kataku sambil mencubit pelan pipinya.
Setelah kembali berpakaian lengkap akhirnya kami pun
segera keluar dari mobil dan menuju ke Food Court
tempat Ibu dan adik-adikku yang lain menunggu. Ternyata
alasan yang disarankan Amar tadi benar-benar membuat
mereka percaya begitu saja. Karena sudah merasa
sangat lapar dan lelah akibat saling melepas birahi di mobil
tadi, akhirnya aku dan Amar langsung memesan makanan
sebelum kami semua melanjutkan perjalanan untuk
berbelanja. Sungguh hari ini menjadi belanja paling
melelahkan bagiku. Bahkan aku sempat tertidur di mobil
cukup lama dalam perjalanan pulang ke rumah.
Di dalam hati kecilku, aku merasa yakin kalau setelah
kejadian ini aku dan adik laki-lakiku akan tetap melanjutkan
hubungan terlarang ini setiap kali ada kesempatan.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan kami melakukannya
setelah aku menikah dengan pacarku nanti.