Kamis, 24 Januari 2013

Cerita Seru - Di Sebuah Pulau

Layar terhenbus oleh angin. Ada 14 orang yang menumpang perahu itu untuk bisa sampai ke sebuah pulau lainnya, untuk menghadiri sebuah perhelatan. Penduduk kampung pulau itu pun dengan senang hati untuk berangkat. Pulau yang dihuni oleh tidak lebih dari 16 Kepala Keluarga (KK) itu biasa saling menghadiri perhelatan jika diundang oleh tetangga di pulau kecil lainnya. Gugusan pulau-pulau kecil amat banyak di perairan itu. Lautan Hinda yang demikian ganasnya, mereka bisa atasi dengan baik.

Burhan memegang kemudi dan sesekali tangan kirnya menarik tali yang digunakan untuk mengendalikan layar. Parhu itu pun terangguk-angguk di terpa ombak-ombak kecil. Tapi tiba-tiba saja awan gelap dan angin demikian kencangnya. Semua diminta untuk mawas diri, karena mereka sudah berada di tengah laut. Biasanya mereka berlayar selama 7-8 jam menuju pulau tetangga yang mengundang mereka.

Burhan yang berusia 24 tahun dan sudah punya isteri dan dua orang anak dan tinggal di pulau karena isterinya sedang hamil tua, sudah ragu akan keadaan angin. Cepat dia melepaskan tali dan minta kepada penumpang lainnya yang juga nelayan, untuk menurunkan layar. Angin tak dapat dikendalikan, selain kencang dan deras, dia juga berputar-putar.

Baru saja dia berteriak agar layar diturunkan, baru layar dilepas tali pengikatnya, tiba-tiba angin kencang dan berputar-putar menerpa layar mereka, membuat perahu terangkat dari atas air laut setingi lebih 2 meter. Kemudian perahu terhempas ke laut dalam keadaan terbaik. Burhan yang sudah sangat wanti-wanti duduk di buritan bersama Emaknya. Dia sudah memegang Bambu ukuran besar, bila terjadi apa-apa. Ujung bambu dia ikat, kemudian ujung tali lainnya dia ikatkan ke pergelangan kakinya. Persis seperti orang bermain selancar. Begitu perahu terangkat kemudian terbaik dan terhempas, dengan cepat di tarik genggam tangan emaknya dengan kuat dan dia peluk. Hampir semua penumpang perhunya itu berteriak histeris.

Burhan menyuruh emaknya memeluk batang bambu itu kuat-kuat, lalu Burhan mendorong tubuh emaknya. Burhan dan emaknya yang pandai berenang, dengan kedua kakinya mereka mengikuti arus. Terserah arus mau membawa mereka kemana. Semua penumpang perahu berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Perahu sudah berkeping-keping, karena perahu itu juga sudah tua. Lewat mahgrib, Burhan dan Emaknya, terdampar di pandai sebuah pulau kecil. Di sana ada sebuah gubuk kecil, sepertinya sudah lama tak dipakai lagi. Dengan tersengat, sengal Burhan memeluk emaknya yang tinggal memakai celana dalam saja, karena kain sarungnya entah sudah dimana. Mereka memasuki gubuk, walah atasnya disana-sini sudah banhyak yang bocor, namun lebih baik, karena sebentar lagi hujan deras akan turun. Dengan beberapa buah tempurung yang dibersihkan seadanya, Burhan menampung air hujan untuk mereka minum.

TAARRRR…. Halilintar membehana menakutkan. Emak Burhan (Maimunah -46 tahun) terkejut dan menghambur ke pangkuan Burhan anak laki-lakinya. TIba-tiba duania menjadi gelap. Tak ada penerangan apapun di pulau itu. Hanya ada suara desau angin dan debur ombak, lalu…. sepi.
“Emak takut… Hanya kita berdua di sini…?” kata Emaknya.
“Jangan takut Mak. Burhan ada di samping Emak…”
“Emak tau. Pakaian Emak basah sangat. Angin Kencang, dingin sekali..”
“Burhan akan peluk Emak, supaya tidak dingin,” kata Burhan membawa Emaknya ke sebuah sudut, agar sedikit terhindar dari hembusan angin kencang.

Burhan membuika celananya dan menggantungkannya di sebuah sudut gubuk yang terlindung agar besok sudah agak kering, bisa dipakai. Kalau memakai pakaian yang basah, lebih dingin lagi. Setelah yakin dia telanjang di tengah gelap gulita itu, dia minta agar Emaknya memeras bajunya, agar cepar kering dan tidak masuk angin. Dalam pikiran Emaknya juga sama dan membuka bajunya lalu memerasnya. Terdengar suara air jatuh saat dia memeras bajunya di tengah gelap gulita itu. Tida ada yangbisa kelihatan. Jari tangan dihadapkan di depan mata saja tidak kelihatan. Begitu cepat cahaya menghilang dan mereka sudah tidak memikirkan lagi teman-teman mereka satu perahu. Besok mereka akan bertemu.

“Kamu dimana?” suara Emak bergetar kedinginan.
“Ya, aku akan mendekat. Aku akan mendatangi suara Emak,” kata Burhan mendekati dan berupaya meraba-raba dengan tangannya ke arah suara. Hep… kedua tangan mereka bertemu dan daya ingat Burhan sangat kuat. Berarti Emaknya tidak jauh dari sebuah sudut yang aman dari terpaan angin kuat dan kebocoran atap gubuk. Cepat dipeluknya tubuh ibunya yang diayakini, ibunya pasti sedang ketakutan.

Saat berpelukan itu, dengancepat Burhan dan Emaknya merasakan persentuhan kulit-kulit tubuh mereka seperti ada arus kehangatan. Burhan mengira, Emaknya hanya memeras bajunya saja kemudian memai\kainya kembali, ternmyata ibunya bertelanjang di kegelapan itu. Dalam, pikiran ibunya, biatlah dia bertelanjang saja daripada menahankan dingin dengan pakaian basah di tubuh, toh tak seorang yang bisa melihat tuibuhnya bertelanjang. Dalam pikiran Emak Burhan, Buran yang masih muda, masih tahan melawan dingin dan hanya sebentar meremas pakaiannya lalu memakainya. Dua pikiran yang sama dengan keyakinan, mereka tidak akan berpelukan dalam keadan bugil

Burhan langsung seperti tersengat listrik dan sukujur tubuhnya menjadi hangat tiba-tiba. Emaknya juga demikian. Tak menyangka gesekan antara kulit itu mampu menghangatkan tubuhnya dan membuat darahnya mendesir-desir dengan anak laki-lakinya itu, Saat dia mau melepaskan diri dari pelkukan anaknya itu, Burhan ternyata tidak melepasnya, bahkan semakin memperkuat pelukannya. Tetek Emaknya yang menempel di dadanya, membuat tangannya refleks sebelah memegang pantat Emaknya dan ternyata juga sudah melepaskan celana dalamnya. Burhan baru sadar, kalau bulu kedua kemalauan itu sudah saling menempel. Demikian juga dengan emak Burhan. Dia merasakan ada benda yang menempel di selangkah pahanya dan dia tahu itu benda apa. Ingin dia melepaskan pelukannya, tapi pelukan anaknya demikian erat.

Burhan memangku Emaknya. Burhan meminta Emaknya merangkul tengkuknya, kemudian Burhan membawa Emaknya itu ke sebuah amben tiga batang bambu tua. Burhan duduk di amben itu.
“Peluk Burhan, Mak. Rapatkan tubuh Emak, biar kita hangat,” bisik Burhan kepada Emaknya.
“Tapi ini pantang, Nak?”
“Kita akan mati kedinginan, bila kita tidak saling menghangatkan. Lupakan pantang sejenak, Mak…” Mereka pun berpelukan. Burhan menempatkan kedua telapak kaki Emaknya di lantai Bambu, agar tak dingin di pasir, lantai gubuk itu.
Burhan pun memeluk Emaknya dengan kuat dan berharap agar hari cepat terang dan mereka bisa mencari apa saja untuak merekamakan dan untuk mereka pakai untuk pulang ke pulau mereka.
Halilintar sepertinya sudah letih terus menerus memuntahkan suaranya yang memekakkan telinga itu. Hujan juga rasanya sudah tiodak sederas lagi, dan angin pun pun sepertuinya sudah lelah terus berhembus. Tubuh ibu dan anak itu semakin hangat, bukan karena angin berhenti betrdesau saja atau hujan semakin menipis turunnya. Keduanya tidak sadatr, kalau mereka sedang dialiri darah cepat yang mereka tidak sadari. Pekukan dan gesekan kulit mereka membuat mereka secara diam-diam dan malu, menjadi bernafsu. Nafsu itulah yang membuat mereka menjadi hangat dan rasa dingin semakin menjauh.
Secara perlahan-lahan Burhan merasakan Emaknya, menggeser-geser tubuhnya. Himpitan memek emaknya terasa sekali di pangkal pahanya. Terasa hanghat dan basah. Burhan juga merasakan pentil tetek ibunya semakin keras menusuk bagian dadanya. Burhan sendiri juga merasakan nafsunya demikiann keras. Tapi bagaimana caranya, agar ibunya tidak mengetahuinya, sementara ibunya butuh kehangatan.

Maimunah (Emak Burhan) merasakan kemaluan anaknya terasa mendenyut-denyut di bibir Memeknya. Dia berusaha untuk tetap tenanag, agar apa yang dirasakannya tidak diketahui oleh Burhan, karena selain dia malu, dia juga tak ingin Burhan menjadi malu. Maimunah merasakan degup jantung Burhan demikian keras. Itu terasa ke degup jantungnya sendiri. Saat kepalanya disandarkan di tengkuk Burhan, dia merasakan dengus nafas Burhan seperti sudah tidak teratur. Dia mengetahui sekali bagaimana laki-laki kalau sudah bernafsu. Tubunya kini masih dalam dekapan kuat kedua tangan Burhan.

Kedua ibu dan anak itu, memiliki pikiran masing-masing, untuk saling menjaga, agar tidak ada yanhg merasa malu. Anak meyakinkan dirinya bagaimana caranya agar emaknya tidak merasa malu dan sebaliknya juga demikian. Tapi Burhan yang masih berusia 24 tahun dan masih menginginkan nafsunya tersalurkan, terlebih dalam keadaan demikian, dlam beberapa detik kehiloangan akal sehatnya.

Dengan kuat tangan kirinya yang memeluk tubuh ibunya mulai dari pinggang ke atas, mampu mengangkat tubuh ibunya. Ibu sendiri yang diangkat tubuhnya tidk mengetahui apa keinginan anaknya dan mengikuti angkatan tangan anaknya. Dia tekan kakinya ke lantai bambu agar tubuhnya terangkat. Saat tubuhnya terangkat sedikit ke atas, Sebelah kanan tangan Burhan memegang kemaluannya dan mengarahkannya ke memek emaknya. Memek yang sudah basah kuyup dengan lendir nafsu itu, saat Burhan mendudukkan emaknya kembali ke atas pangkuannya,: Cluuup… Kemaluan Burhan yang tegang, begitu cepat tertelan ke dalam memek emaknya,
Saat kemalouan Burhan sudah berada sepenuhnya dalam memeknya, Maimunah tersadar dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Burhan.

“Burhan… Kita sudah tidak benar…” katanya berusaha meronta.
“Emak. Semua sudah terlanjur. Biarlah. Tak ada yang tak benar. Kita sedang dalam hal yang benar,” katanya dan terus memeluk emaknya. Emaknya tak bisa berbuat apa-apa. Burhan mencdium leher emaknya dan mengelus-elus punggung Emaknya.

Lama kelamaan, Maimunah pun tersirap juga. Dia mengalah toh semuanya sudah terlanjur. Kemaluan anaknya sudah di dalam. Sebentar atau lama, kemaluan anaknya sudah dalam lubang memeknya. Dia hanya diam dan menyandarkan wajahnya ke leher Burhan. Burhan hanya mengelus-elus tubuh emaknya. Kulit keduanya demikian lengket, seperti lepat dan daun. Mereka diam dn perlahan-lahan Maimunah terpancing juga dan dia secara perlahan, ikut pula megelus tubuh Burhan. Burhan terkejut, karena emaknya sudah mulai mengelus tubuhnya.. Perlahan Burhan mulai berusaha menusuk tarik kontolnya di memek emaknya. Di tekannya pantat emeknya dengan tenagnnya, kemudian di lepaskannya, kemudian ditekannya kembali. sampai akhirnya, pantat emaknya berjalan maju-mundur sendiri tanpa ditolak-tolak lagi.

Maimunah entah sadar atau tidak, dia memaju mundurkan pantatnya, sampai pula pada saat yang tak terduka, Maimunah jusyru mempercepat maju-mundur pantatnya,. hinga kontol anaknya bisa keluatr mauk dalam memeknya yang basah. Maimunah mdnesahdesah dan Burhan juga demikian. Mereka tak berhenti dan sama-sama mereka memberi respons dengan cepat dan semakin cepat, dengan desahan nafas yang memburu.

Burhan memeluk ibunya dengan kuat, dan pelukan Burhan pun dibalas pula denga pelukan yuang kuat pula. Sma-sama mereka tiba di puncah nikmat yang terlukisakan dengan kata-kata. Keduanya hening dan nafas mereka yang memburuh, masing-masing mereka menetralkannya.

“KIta usdah salah,” kata Maimuna.
“Tidak ada yang salah,” kata Burhan.
“Cukup hanya ini, tak boleh lagi,
kata Maimunah yang masih berada dalam pelukan Burhan.
“Jika ada kesempatan, kita harus melakukannya lagi. KIta boleh cari pulau mana yang kita suka dengan lasan mencari ikan atau apa saja,” tegas Burhan.
“Tidak boloeh. Aku ENakmu,”
“Tidak. Sekarang isteriku yang sangat rahasia. Jika bukan isteriku, mana mungkin kita sama-sama menikmatinya?”

Maimunah diam. Apa yang dikatakan Burhan benar. Baru saja dia menikmati betapa indahnya bersetubuh dengan anaknya sendirei yang sudah lama tak dia rasakan, sejak suaminya jatuh dari pohon kelapa.
Berdua mereka mencuci tubuh mereka ke air laut. Kembali mereka ke gubuk dituntun oleh sinar rembulan yang malu-malu di balik awan. Berdua merek akembali ke gubuk dan duduk di tempat yag sama. Burhan kembali memeangku emaknya dengan kasih sayang dan kali ini, Burhan sudah berani menciumi bibir emaknya dan mempermainkan lidahnya di mulut emaknya itu. Dan…..
 “Lalu kita ini bagaimabna? Apakah ada yang tahu, kalau kita selamat di Pulau ini? Bagaimana pula nasib teman-teman kita yang lain?” tanya Maimunah sedih mengenang teman-teman mereka yang belum diketahuinasibnya. Maimunah dan Burhan berusaha mengelilingi pulau yang hanya seluas tak lebih dari 20 hektar itu. Seharian mereka berupaya mencari teman-teman mereka sembari menunggu ada orang yang b isa

melihat mereka untuk mendapatkan pertolongan. Nyatanya nihil.

Untung di pondok yang usang itu, ada sekotak korek api yang masih kering. Ada pula minyak lampu sedikit dengan sumbu lampu teplok yang tersisa. Yang lebih membuat mereka senang, mereka menemukan sebuah parang, walau sudah berkarat, tapi m asih bisa dipakai. Burhan berupaya menajamkan parang itu dan memanjat kelapa untuak mereka makan. Emaknya sudah memakai celana dalam dan baju Jacket Burhan dililitkan di pinggangnya, namun Burhan masih tetap memandang Emaknya itu dengan nafsu. Burhan juga berupaya mengorek-ngorek lumpur saat pasang surut, untuk mendapatkan beberapa puluh kerang.

Burhan mencari dedaunan kelapa untuk disisipi di atas gubuk, serta memperbaiki bale-bale pada gubuk. Dibnding gubuk pun diselipi daun kelapa yang merek ambil di tanah. Kerang itu mereka cucuki pakai lidi, kemudian ditumpuk di daun kelapa kering dan dibakar. Wah rasanya enak sekali, terutama dalam keadaan lapar. Seharian mereka membenahi gubuk, mencari makanan dan untuk di sebuah perbukitan ada mengalir air, walau debitnya sangat kecil bisa ditampung pada baskom usang untuk minum dan mereka memasaknya di tungku dengan pelepah kelapa jadi kayu apinya.

Hari semakin gelap saja, sebentar lagi akan gulita dan pekat serta hitam. Ikan-ikan kecil yang di tanggok pakai kaos singlet di tepian, mereka makan dengan lahapntya. Biji buah Ketapang juga mereka makan dengan lahap. Sore berganti senja dan senja bergerak kebarat menuju malam. Nun di ufuk timur sana, ada warna jingga, secara perlahan hilang di balik laut luas dan lepas.
“Kita bakal bermalam lagi di sini,” kata Maimunah seperti mengeluh.
“Ya… kita akan tidur bersama sekarang, karena aku sudah buat bale-bale untuk kita berdua,” kata Burhan.
“Tapi…”
“Jangan pikirkan yang lain. Kita saling membutuhkannya sekarang,” jawab Burhan singkat. Maimunah mengerti maksud perkataan Burhan. Dari kejauhan ada kelihatan lampu kelap-keliop. Ada harapan bagi mereka, Namun lama kelamaan lampu kelap kelip dari perahu itu , hilang pula. Mereka yakin sekali, perahu itu pasti sedang mencari mereka. Mereka pun pasrah setelah tak seberkas cahaya dari matahari pun yang kelihatan. Hari berganti dengan tiba-tiba dan langsung gelap. Itulah laut.

Burhan menuntun emaknya ke gubuk dan meraka tiduran di bale-bale, dengan parang tetap siap sedia tak jauh dari kepala Burhan. Karena dingin, Maimunah memakai jacket Burhan dan di bagian bawah dia hanya memakai celana dalam saja. Dindin yang dikelilingi oleh daun kelapa yang kering, juga dijadikan pengganjal agar tempat tidur mereka terasa empuk dan hangat. Tubuh mereka juga dikelilingi oleh daun kelapa yang kering.
“Mak aku selalu curi-curi dengar. Kalau Bapak tak bisa lagi melayani Emak,” bisik Burhan.
“Kenapa kamu suka mencuri dengar. Tidak baik,” sela Maimunah
“Mulanya iseng saja. Kelamaan aku menginginkannya walau aku sudah punya isteri.”
“Sebenarnya ini tak bisa kita lakukan.”
“Ya. Tapi nyatanya, kita saling membutuhkan,” Burhan tak mau kalah karena pahanya sudah berlaga dengan paha emaknya. Keduanya pun diam. Maimunah tak bisa membantah apa yang dikatakan Burhan. Tiba-tiba saja bibir Burhan sudah mengecup bibir Maimunah. Mulanya Maimunah berupoaya menahan diri. Namun rabaan tangan Burhan pada selangkangan Maimunah dan elusannya pada buah dadanya, membuat Maimunah tak mampu juga menahan diri.

“:Burhan,,, Emak takut,”
“Jangan takut Mak, aku ada di samping emak.”
“Emak takut hamil…”
“Jangan takut Mak. Kan aku ada?”
“Justru, nanti bagaimana kalau aku hamil karena ini…” Maimunah mengelus kontol Burhan.
“Tenang saja Mak.” Burhan mengupayakan menghilangkan kecemasan emaknya. Perlahan, lahan Burhan melepas celana dalam emaknya sampai lepas. Kemudian dileusnya bulu-bulu yang memenuhi antara dua paha emaknya itu. Selain itu, Burhan juga mengisap-isap tetek emaknya dengan rakus.
“Bagaimana ini….” desah emaknya. Burhan diam saja dan terus mengulum lidah emaknya.
“Oh… apa lagi lagi baru dimasukkan…?” Maimunah akhirnya meminta.
Mendengar perkataan emaknya, Burhan langsung meniki tubuh emaknya dan Maimunah pun mengangkangkan keuda kakinya. memek yang sudah basah itu ditusuk oleh kontol anaknya, sampai amblas.

Keduanya tidak bersuara apa-apa kecuali desahan-desahan nafas dan rintih kecil dari mulut Maimunah. Burhan mempompanya dengan teratur dan pompaan itu membuat Maimunah seperti tak mampu berkata apa-apa lagi selain menggoyang-goyangkan pinggulnya dari bawah. Maimunah pun terus merintih-rintih dan dengan kuat, dia membalikkan tubuhnya. Posisi mereka sudah berubah. Burhan kini berada di bawah dan Maimunah menakan-nekan tubuhnya dari atas. Pantatnya dia putar-putar dan teteknya menekan-nekan dada Burhan.
Kelihatan Burhan jadi kwalahan sekali mengimbanginya dan dia mendesah, menyatakan dia akan sampai.
“Jangan dulu…..”Maimunah semakin mempercepat putaran pinggulnya ke kiri dan ke kanan, serta dia menekan jauh ke dalam.
“Maaaakkkk… aku sampeeeekkkk….” Burhan memeluk emaknya dari bawah dan mencengkram tengkuk emeknya. Maimunah terus memutar pinggulnya, takut kontol anaknya jadi mengecil. Dia terus berupaya secepatnya untuk mengejar nikmat, jangan sampai konbtil itu mengecil; dan keluar dari memeknya. Maimunah pun mengerang kuat. Akhhhhhh….. Lalu erangannya menjadi senyap di telan gelap gulita yang pekat.
Mereka berpelukan dan tertidur dengan pulas di malam gelap itu. Karean angin sedikit kencang, nyamuk-nyamuk tak berani mendekat.
Mereka terbangun, saat mata hari mulau menusuk-nusuk mata mereka. Cepat Burhan terbangun dan bangkit, lalu memakai pakaiannya. Dia takut, saat mereka tertidur, sudah ada orang di pulau itu yang melihat keadaan mereka.

Akhirnya mereka pun ditemukan oleh nelayan pulau lain di pulau itu dan memberi merek akain untuk disarungkan. Nelayan itu membawa mereka ke pulau mereka setelah tiga malam mereka berdua terdampar di pulau itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar