Rabu, 23 Januari 2013

Cerita Seru - Kenikmatan di Rumah

Rabu, 08 Maret 2011 “Hati-hati di jalan ya Mas…” ucapku sambil mencium tangan suamiku. “Iya… Baik-baik juga ya di rumah…” jawab suamiku lalu segera menaiki motornya untuk berangkat kerja. Saat ini aku memang sudah menikah dan tinggal di rumah mertuaku di daerah Bekasi. Dahulu sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan suamiku saat ini, namun karena melihat kalau dia mencintaiku dengan tulus akhirnya aku bersedia dinikahi olehnya. “Huuuffh… Sendirian lagi deh…” gerutuku dalam hati. Karena sudah tidak bekerja lagi setelah menjadi seorang istri, aku pun mencoba mengisi waktu luang dengan menonton TV, membersihkan rumah dan kegiatan lain yang sering dilakukan oleh ibu rumah tangga. Walaupun aku sudah mencoba usaha menjual pakaian secara online melalui Facebook, namun tetap saja setiap hari rasanya berjalan lama sekali. Akhirnya aku teringat kalau pagi itu aku belum mencuci pakaian. Kemudian aku pun mengambil pakaian kotor dan segera menuju ke kamar mandi. Setelah sekitar 1 jam berlalu dan sedang bersiap untuk menjemur pakaian, aku mendengar suara pintu pagar rumah dibuka. “Siapa ya? Apa ibu mertuaku udah pulang?” tanyaku kepada diri sendiri. Kemudian aku bergegas berjalan ke arah pintu depan dan untuk memastikannya. Ternyata di luar dugaan yang berdiri di depan pintu adalah Amar, adik laki-lakiku. Tentu saja aku tidak menyangka kalau dia yang datang, karena biasanya Amar mengunjungiku pada hari libur saja, itu pun bersama adik-adikku yang lain. “Eh… Si Amar… Kok tumben? Sendirian aja? Emang lagi nggak ada kuliah?” aku langsung mengajukan banyak pertanyaan kepadanya. “Teteh bukannya nyuruh masuk malah nanya-nanya Amar sih? Hehehe…” jawab adikku sambil tertawa. “Oh iya Teteh lupa…! Abis nggak biasanya maen kemari… Ya udah buka aja Mar… Nggak digembok kok…” aku pun jadi ikut tersenyum. “Amar capek banget nih Teh abis perjalanan jauh…!” adikku berkata sambil membersihkan wajahnya yang berkeringat. “Ya elaaah…!! Manja amat sih sekarang…! Ayo masuk deh…” aku meledeknya namun tetap membukakan pintu gerbang. “Tapi ngeliat Teteh rasa capek Amar langsung ilang kok…” ujar adikku sambil memasukkan motornya ke halaman. “Basi banget deh…!!” kataku lalu mencubit pelan pinggangnya. Setelah adikku sudah berada di dalam rumah aku mempersilahkan dia untuk duduk di ruang keluarga yang penuh dengan nuansa hijau tua. “Bentar ya Mar… Teteh lagi mau jemur baju dulu… Kamu tunggu aja di situ yah… Bikin minum aja sana…” kataku berpamitan. “Sini Amar bantuin Teh… Lagian nggak sopan banget sih masa tamu disuruh bikin minuman sendiri?” canda adikku. “Yeee…! Bukannya lebih nggak sopan lagi kalo tamu disuruh bantuin jemur baju?” balasku. Amar tersenyum lebar yang memperlihatkan giginya yang berukuran besar. Tapi tentu saja tawaran adikku tadi tidak kutolak. Lagipula lebih meringankan pekerjaanku dan akan lebih cepat selesai. Saat sedang menjemur pakaian, dapat kulihat Amar terus memandangiku saat aku sedang memeras bra dan celana dalam milikku. Walaupun aku dan Amar pernah memiliki hubungan yang ‘istimewa’, namun tetap saja aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Namun aku pikir tanggung karena sebentar lagi pekerjaan ini selesai dan aku akan ke kamar untuk segera berganti pakaian. “Amar udah sarapan belum?” tanyaku berbasa-basi sambil terus menggantung pakaian. “Eh… Belum laper Teh…” jawab adikku dengan sedikit canggung. Setelah seluruh pakaian sudah dijemur, aku menyuruh Amar untuk menonton TV sambil menungguku. Sesampainya di kamar, aku berbaring sejenak karena cukup lelah setelah mencuci dan menjemur pakaian. Tanpa terasa aku tertidur cukup pulas. Dalam keadaan setengah sadar aku dapat mendengar seseorang membuka pintu kamar ini. Keberadaan orang tersebut terasa semakin mendekatiku. Tidak lama ranjang ini terasa bergoyang karena sepertinya dia sudah duduk di sebelahku. Kemudian aku merasa ada tangan yang meraba-raba betisku. Selanjutnya tangan tersebut mulai merayap naik ke bagian pahaku. Namun karena masih berada di antara alam tidur dan kenyataan, aku mengira saat itu sedang mimpi berhubungan intim dengan suamiku. Apalagi saat tangan tersebut membelai-belai selangkanganku yang masih tertutup celana dalam itu, aku merasa bahwa itu adalah jilatan-jilatan dari suamiku. Ketika bagian-bagian tubuhku terus disentuh dan digerayangi aku mulai tersadar dari tidurku namun tidak langsung membuka mata. “Teteh gue emang mulus banget…” dengan mata terpejam aku masih dapat mengenal jelas suara tersebut. Tentu saja jantungku berdetak lebih kencang ketika mendapati kalau mimpiku tadi benar-benar sedang terjadi, apalagi ditambah kenyataan bahwa Amar adalah pelakunya! Karena tidak ingin tangannya merayap lebih jauh lagi maka aku mulai merapatkan kedua pahaku. Adikku rupanya tidak menyerah begitu saja. Tangan Amar kini mulai berpindah ke daerah payudaraku, yang hanya terlindungi oleh kaos tanpa bra, kemudian meremas-remasnya secara lembut dan perlahan. Jari-jari milik adikku seolah-olah menari diatas dadaku sambil sesekali mencubit kecil. Namun diperlakukan sedemikian rupa, aku pun akhirnya tidak dapat menahan diri lagi untuk terus berpura-pura masih terlelap. “Ya ampuun Amaaar…!! Apa-apaan siih kamu!?” aku lalu membuka mata kemudian berteriak supaya sandiwaraku benar-benar tampak meyakinkan. “Eeeh… A-amar cuma pengen bangunin kok… A-abis Teteh pules amat tidurnya…” kata adikku beralasan. “Hayooo ngaku aja Mar…! Sebenarnya kamu mau ngapain Teteh sih?” aku mencoba untuk membuat Amar berkata jujur walaupun sebenarnya diriku sudah mengetahui apa yang dia lakukan dari tadi. “Teeeh… Amar kangeeen…!” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut adikku sebelum dia mencumbu bibirku dengan ganas. “Jangaaaan..!! Inget Mar… Emmmhh… Te-teteeeh kan u-udaaah nikaah…!” saat aku tersadar bahwa semua ini salah. “Ayo dong Teeeh… Sekali ini ajaaaa… Amar bener-bener udah nggak tahan…” adikku memohon dengan tatapan mata yang memelas. “Ta-tapi Mar…” kataku yang hendak beranjak pergi namun tubuhku justru memilih untuk tetap pasrah. “Rasanya kepala Amar jadi mau pecah gara-gara napsu ngeliat Teteh tiduran tadi… Sekarang udah kentang nih…!” ujar Amar yang seolah-olah kejadian ini murni karena kesalahanku. Sesaat kemudian tangan adikku yang kurus sudah meraba-raba bagian dadaku. Dia lalu menaikkan kaosku ke atas hingga lewat kepala dan membuangnya ke sudut ruangan. Dia tersenyum mesum melihat payudaraku yang terpampang bebas dengan putingnya yang sudah menonjol karena terangsang. “U-udaaah Maaar… Nanti… Ennngghh… Ada yang liaaat…” aku masih berusaha melarangnya sambil mendesah karena saat ini Amar mulai mencumbui bagian samping leherku. “Siapa yang bakal ngeliat sih Teh? Kan pada belom pulang…” tanya adikku tanpa berusaha menghentikan usahanya. Terus-menerus mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja pertahananku akhirnya bobol juga. Amar sungguh pandai membangkitkan nafsu birahiku karena dia sudah paham benar titik mana saja yang sensitif untuk merangsangku. Menyadari hal tersebut, ciuman Amar terus merambat turun ke pundakku. Dia menjilatinya hingga aku menggelinjang. Tanpa ingin kehilangan waktu sedetik saja mulut Amar mulai mendarat di payudara kananku. Telapak tangannya meremas-remas payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku. Lidahnya kini bermain-main di atas putingku. Pertama-tama lidah adikku hanya menyapu bagian putingnya saja, tidak lama kemudian mulai bergerak memutari seluruh daerah di sekitarnya, sebelum diakhiri dengan mengenyot habis puting tersebut hingga pipinya terlihat kempot. “Ohh… Geliiii Mar…!” aku memekik. Rasa tersebut dibarengi dengan mulai tumpahnya cairan-cairan cinta yang membasahi rongga liang senggamaku. Aku sudah kewalahan untuk mengalihkan gairah yang berubi-tubi disusupkan oleh Amar. Gairahku terpompa naik dengan cepat oleh setiap sentuhannya. “Aaaaaah… A-maaaaar…!!” aku semakin mendesah kencang akibat aksinya. Mulut adikku kini berganti-ganti menghisap kedua payudaraku. Aku yang sudah sangat terangsang itu mulai mengelus-elus rambut Amar. Padahal sebelumnya aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal seperti ini dengan lelaki lain, termasuk Amar, setelah menikah. Gejolak hatiku memang sedang berperang di dalam diri ini, tetapi pada kenyataannya Amar benar-benar sudah menaikkan nafsu birahiku. “Celananya Amar buka yah…” bisik Amar yang sudah bersiap menarik celana pendekku. “Mar…!” kataku yang sesungguhnya berniat untuk menolak. Namun yang terjadi selanjutnya adalah tangan adikku dengan perlahan-lahan mulai dengan melucuti celana pendek beserta celana dalamku hingga bugil. Setelah itu, jari-jari panjangnya kembali membelai bibir vaginaku yang sudah basah. “Eeemmm… Ahhh… Aamar nggak sabaran banget sih…!” kataku yang kini tidak lagi dapat menolak perlakuannya. Mendengar ucapanku tadi membuat Amar tersenyum mesum sambil memandang wajahku dengan tatapan lapar. Adikku kemudian menelan ludah saat memandangi bukit gundul yang indah di tengah-tengah selangkanganku. Biarpun Amar sudah sangat sering melihatnya, namun aku yakin tidak akan pernah ada laki-laki yang bosan melihat vagina milikku yang mulus dan sedap dipandang. Apalagi walau sudah menikah, namun kedua bibir vaginaku masih menutup dengan sangat rapat. Warna kulit di sekitar vaginaku juga cukup putih yang tentu saja membuatnya semakin menggoda. “Uuhhhhhh… Amaaaaar… Nghhhhh…” aku terus merintih dengan nafas tertahan saat dua jari adikku menusuki belahan vagina. Tanpa memberi ampun lagi, Amar mulai membenamkan wajahnya di selangkanganku. Dia menghirup kuat-kuat aroma dari vagina milikku itu. Jadilah aku semakin menggeliat-geliat tidak karuan menerima cumbuannya yang bertubi-tubi pada daerah pribadiku. “Eeeemmpphh… Sluuurpphhh… Sluuurphhh…” adikku melahap nikmat kemaluan yang dulu jadi santapannya hampir setiap hari. Seperti ular, lidah Amar menelusup ke dalam celah vaginaku kemudian menari-nari menyapu bagian dalamnya. Dengan bantuan kedua tangannya, Amar membuka bibir vaginaku untuk membuat ruang bagi lidahnya. Sentilan ujung lidah adikku membuat tubuhku bergetar seperti disengat aliran listrik. Apalagi saat lidah tersebut kini mencapai bagian klitoris yang membuatku semakin megap-megap merasakan gelombang libido hingga menekan kerongkonganku yang sudah terasa sangat kering. “Aaaaauuuuuh…” kedua pahaku menutup seketika menjepit kepala Amar saat merasakan ada benda lunak dan hangat yang mengenai bibir kemaluan milikku. “Memeknya Teteh tambah wangi aja nih…! Abis kawin makin rajin dirawat ya Teh?” kata adikku di tengah melancarkan aksinya. Tanpa menunggu jawaban dariku, Amar pun kembali menjilati vaginaku. Namun kali ini dia lebih banyak menggunakan lidahnya untuk menyentuh bagian klitorisku. Kedua Kombinasi dari kecupan, hisapan dan jilatannya yang liar membuatku menggelepar-gelepar menahan rasa nikmat yang menggelitik. “Sssshhh… Aaaaaaahhh…!!” aku hanya bisa mendesah kencang karena terangsang. “Aaaaaahhhh… Mmmmhhh… Hhhmmhhhh…” lirihku yang sudah mulai menyerah pada serangan lidah Amar di bawah sana. Tidak terbayangkan apa jadinya apabila saat itu suamiku menyaksikan istrinya yang sudah tidak mengenakan penutup apapun, sedang menikmati jilatan pada selangkangannya oleh pria yang tidak lain merupakan adik kandung istrinya sendiri! Namun perasaan itu malah membuatku menggelepar-gelepar merasakan rasa nikmat sekaligus sensasi seks sedarah yang sungguh luar biasa. Adikku juga betul-betul menikmati setiap jengkal dari alat kelamin kakaknya tersebut. Jilatan Amar semakin menjadi-jadi, lidahnya menjilat hingga masuk ke lubang vaginaku. Memang aku sudah lama tidak berhubungan seks dengannya, sehingga ada perasaan yang kuat untuk dapat merasakannya kembali. “Hmmmm… Amaaaaaaar…!!” desahku sambil menggigit pelan bibir bagian bawah. Vaginaku tidak ubahnya seperti makanan yang sangat lezat bagi Amar yang ingin dia nikmati sampai habis. Selangkanganku pun sudah basah kuyup dengan air liurnya yang bercampur dengan cairan vaginaku. “Ooooouuugh…” tiba-tiba aku merasakan tubuhku bergetar hebat seketika. Ternyata saat itu Amar sedang bermain pada bagian klitoris dengan lidahnya sekaligus memainkan jari-jari kurusnya pada lubang kenikmatanku. Aliran listrik yang mengejutkan terus aku rasakan menjalar di sekujur tubuh. Dari mulutku terus keluar desahan-desahan lepas dengan suara yang begitu menggairahkan bagi yang mendengarnya. Adikku semakin menggila setelah mencicipi lelehan lendir yang mulai keluar dari vaginaku. Melihatku yang lebih terangsang pada saat tersentuh di bagian klitoris, Amar terus melancarkan serangan-serangan lidahnya pada benda kecil tersebut. “Aaaaaahhhh… Eemmmhhh… Maaaar…!! Uuuungggh…” aku terus mendesah sejadi-jadinya ketika dilanda rasa nikmat yang luar biasa. Tubuhku semakin menegang dan kakiku menjadi kaku serta kedua pahaku semakin menjepit kepala Amar. Secara spontan aku menekan kepala Amar ke vagina milikku dengan kedua tangan, seperti ingin membekapnya. “Enak yah dijilatin Amar Teh?”goda adikku di sela-sela aktivitasnya. “I… I-iyaaaa… Maaar…. E-enaaaakkkhhhh… Ooooooohhhhh…” kataku dengan terbata-bata akibat dirangsang sedemikian rupa. “Kalo enak buka pahanya yang lebar dong Teh… Kepala Amar jangan dijepit… Sakit nih…!” canda Amar sembari mencubit gemas paha putih mulus milikku. Tanpa sempat tersenyum mendengar gurauannya, aku langsung melebarkan kedua paha yang tentu saja memberi keleluasaan kepada Amar untuk dapat menikmati vaginaku. Setelah menunjukkan senyum kemenangan pada wajahnya, Amar langsung menyerbu kembali vaginaku dengan gencar. Aku sampai kewalahan dan menggeliat-geliat hebat. Kepalaku bergerak ke kanan dan ke kiri, vaginaku mulai berkedut-kedut serta desahanku begitu lepas. Diriku sangat yakin kalau wanita manapun akan bereaksi sama sepertiku saat ini karena lidah Amar benar-benar lincah bermain. “Maaaar…!! Amaaaaaar…!!!!” lenguhku sambil memegangi kepala adikku dengan kencang. “Sssrpphhhh… Sslluuurrpphhh..” Adikku menyeruput dan menyedot dengan sangat kuat seakan tidak ingin melewatkan satu tetes pun cairan vaginaku. “Waaaah… Keluarnya banyak banget sih Teh? Sampe luber kayak gini… Pasti enak banget yah memeknya diisep sama Amar?” komentar adikku sambil terus menyeruput cairan cintaku yang masih tersisa. “Sssruuupphh… Gluukkk… Sleeerpphhh… Mmmmm… Enaknyaaa jus memek buatan Teteh… Hehehe…” komentar Amar yang pada ujung bibirnya masih terlihat lelehan cairan kewanitaanku. “Maaaar… Teteeh… Nggggh…” hanya kata-kata tersebut yang dapat keluar dari mulutku yang sedang terengah-engah. “Kenapa Teh? Enak kan? Mau Amar terusin?” goda adikku. Aku hanya menghela nafas karena tahu kalau perbuatan kami berdua sudah tidak dapat dihentikan dan akan berlanjut ke tingkat yang lebih jauh lagi. Lagipula Amar masih tampak begitu bernafsu karena dirinya sama sekali belum terpuaskan. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk melayani Amar saat ketika sadar bahwa kini aku telah bersuami. Namun vaginaku yang dari tadi dirangsang membuat gairah seksualku ikut terbangkitkan dan tidak memakai akal sehat lagi. “Sekarang giliran Amar dong Teh…” pinta adikku yang tanpa menunggu lama segera menurunkan celananya di depan wajahku. Jantungku bekerja lebih keras ketika melihat penisnya yang sedikit kehitaman dan tampak berdiri tegap. Saat mataku bertatapan dengan matanya, aku dapat melihat kalau pandangan Amar begitu liar. Sementara aku yang sudah mengerti akan apa yang diinginkan olehnya langsung meraih penis yang sudah sangat tegang itu dengan tangan kananku. Nafasku semakin memburu saat telapak tanganku mengelus-ngelus batang kemaluan milik adikku yang hangat dan berkedut seperti mahluk hidup. Dengan lembut aku terus memijat benda tersebut kemudian mengocoknya secara perlahan. Amar hanya terseyum melihat tingkah kakaknya yang sudah mengetahui apa yang dia inginkan. “Oooooh…!” adikku mengerang saat aku mulai meningkatkan irama kocokan pada penisnya. Aku meremas sekaligus menekan batang penisnya ke arah atas dan bawah lalu mengulang gerakan seperti itu seterusnya. Telapak tangan milikku yang berukuran kecil ini tampak tidak sanggup untuk menggenggam seluruh batang tersebut. Gerakan tanganku yang sudah sangat lancar terus mengocok-ngocok batang kemaluan adikku. “Hmmmm… Enaaaaak…!! Teteh udah kangen ya sama kontol Amar ini? Hehehe…” goda adikku sambil tertawa. “I-iya Mar… Teteh kangen sama penis Amar…” sahutku pelan. Dengan tidak sabar aku melingkarkan bibirku pada ujung penis Amar kemudian menggelitiknya dengan lidahku yang sudah terampil. Adikku tentu saja terlihat sangat menikmati perlakuan dari saudari kandungnya ini. Aroma khas penis Amar semakin kuat tercium oleh hidungku yang kemudian aku hirup dalam-dalam hingga membuatku semakin lupa diri. Tidak ingat atau mungkin tidak ingin menerima kenyataan bahwa kami berdua adalah kakak dan adik kandung. “I-iseeeppp terusss… Yang kuaaaat Teeeeh… Aaaarrrgggh…” perintah Amar sambil menjambak rambutku. Tidak aku hiraukan perlakuan kasarnya tersebut karena yang tersisa sekarang hanyalah nafsu untuk menghisap-hisap batang panjang milik adikku ini. Aku terus menyedot kuat-kuat hingga Amar mengerang keenakan. Benda itu semakin terasa berdenyut di dalam mulutku. “Mmmmmh… Sluuuurp…” aku mencoba untuk menelan seluruh bagian penis Amar hingga dia semakin berada di awang-awang. “Auuuuh… Teteh makin jago aja nih!” puji Amar ketika merasakan sensasi yang ditimbulkan dari hisapan bibirku yang lembut, hangat dan basah. “Gimana Mar… Sluuuuurp… Rasanyaaa? Hmmmm… Sluuurp…” tanyaku terputus-putus. “Oooohh… Jelaas enaaak Teeeh…! Pagi-pagi beginiiii… Ooooh… Disepongiiin sama kakak yang cantiiik…!! Ennnggh…” ujarnya dengan kurang ajar namun justru membuatku semakin bersemangat. “Eeemmm… Terus udah nggak pusing lagi sekarang? Sluuurrp…” candaku sambil terus menghisap penis Amar sehingga membuat wajahnya tersipu. Terakhir kali aku melakukan oral seks adalah dengan Amar beberapa bulan lalu sebelum aku menikah tentunya. Anehnya lagi, suamiku tidak pernah aku berikan pelayanan seperti ini walaupun dia sudah berulang kali memintanya. Saat ini aku benar-benar layaknya anak kecil yang sedang disuguhi permen. Aku semakin menikmati penis milik Amar, mulai dari mencium, menjilat hingga mengemut sambil mengocok-ngocok batang penis miliknya. Seharusnya dari pertama aku bisa saja menolak permintaan adikku untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ingin aku hentikan. Tetapi nafsu birahi mengatakan kepada diriku untuk memuaskan Amar secara seksual. “Teh…! Teeeh…! Udah dulu yah… Amar nggak mau keluar cuma gara-gara disepong sama Teteh doang… Mendingan kita langsung ngentot aja yuk…!” saran adikku yang langsung mencabut keluar penisnya dari mulut mungilku. Seketika kewanitaanku terasa ngilu, membayangkan penis adikku masuk mengaduk-aduk liang vaginaku. Dengan suara lemah aku berkata sambil menatap matanya lekat-lekat “Tapi jangan keluarin di dalem ya Mar…” Adikku tersenyum tipis lantas menjawab “Yaaah… Si Teteh gimana sih… Bukannya Teteh pengen banget punya anak?” “Emang bener sih… Tapi kan…” suaraku terdengar serak karena tenggorokan ini terasa kering. “Daripada Mas Sigit belom bisa ngasih anak sampe sekarang… Mending sama Amar aja Teh! Hahaha…” lanjut Amar menyelak kalimatku yang belum selesai. Mendengar perkataan adikku tadi perasaanku bercampur antara marah sekaligus terangsang memikirkan bagaimana jadinya apabila aku benar-benar hamil dari benih spermanya. Walaupun dari pengalaman bercinta dengan pria lain, termasuk Amar, aku juga tidak yakin kalau rahimku subur. Selama ini mereka hampir selalu mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku dan aku tidak pernah hamil. Namun di dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin mengecewakan suamiku apabila nanti aku mengandung anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Tanpa merasa bersalah, Amar mulai mengatur kakiku seperti huruf ‘v’ di sisi ranjang dengan mulai menggesekkan penisnya ke bibir vaginaku. Kakiku mengayuh naik dan turun, menunjukkan bahwa vaginaku sudah tidak sabar ingin ditusuk oleh sebuah penis. Melihat hal tersebut tentu saja membuat adikku tertawa licik karena semakin yakin bahwa diriku sudah benar-benar terangsang. “Kenapa Teh? Pasti nggak sabar ya memeknya pengen disodok sama kontol Amar… Ngomong dulu… Nanti Amar janji bakalan bikin Teteh keenakan deh…! Hehehe…” ledek adikku. “Emmm… Teteh pengen bangeeet digituin Amar…” kataku lirih hingga nyaris tidak terdengar. “Maksudnya Teteh pengen ngentot? Bilang aja kayak gitu… Nggak usah jaim… Hahaha…” tanya adikku sambil terus melecehkanku. “Iya deh… Teteh pengen ngentot…!! Udah deh… Cepetan dooong…!!” kali ini aku merengek tanpa ada perasaan malu lagi. “Sekarang waktunya Amar ngerasain memek Teteh…” adikku bersiap memasukkan penisnya yang sudah terlihat sangat tegang. Sementara itu aku hanya memperlihatkan raut wajah pasrah ketika penis Amar mulai memasuki vaginaku dengan semakin dalam. Dia terus menjejali penis tersebut ke liang senggamaku karena ingin menikmati jepitan vaginaku yang sudah cukup lama tidak dirasakannya. “Ohhhhkh…!! Enaaaak…!!!” celoteh Amar mengomentari liang vaginaku yang menjepit kepala penisnya. Aku menatap sayu wajah Amar yang begitu bernafsu ingin menguasai menyetubuhiku. Kedua mataku menjadi saksi ketika batang penis Amar ditekan ke bawah hingga pahaku terbuka semakin lebar. “Busyeeet deeeh…!! Ennnggkh… Masiiiih rapet aja memeknya Teteeeeh…!! Oooooh…!!!” ujar adikku berteriak puas ketika akhirnya berhasil menanamkan seluruh penisnya dari kepala hingga pangkal ke dalam kemaluanku. Seketika vaginaku terasa penuh oleh penisnya yang tanpa jeda terus menyetubuhiku hingga kami benar-benar sudah sempurna bersetubuh. Tiba-tiba adikku berdiam diri menghentikan gerakannya. Mungkin dia lelah atau karena sekedar ingin menikmati penisnya yang tenggelam di dalam vaginaku. Kemudian secara perlahan, adikku menarik batangnya dari jepitan vaginaku hingga tersisa ujung kepalanya saja. Namun tanpa aku duga, dia menghantamkan keras-keras hingga penisnya kembali tertelan seluruhnya di dalam vaginaku. “Ooooooookkh…!!” aku mengerang keras akibat perlakuannya itu. Berulang kali Amar melakukan hal tersebut yang membuat vaginaku terasa perih namun nikmat di saat yang bersamaan. Akibat gerakan brutal itu, aku merasakan kalau sebentar lagi akan mengantar diriku menuju titik orgasme. Gerakan adikku kian lama semakin cepat. Liang vaginaku kini sudah sedemikian basah, hingga pada setiap tusukan terdengar bunyi gesekan yang sangat jelas. Aliran libido yang meledak seolah memompa tubuh mungilku dan menekannya ke segala arah. Tentu saja hal tersebut menandakan bahwa aku sungguh menikmati perbuatan terlarang ini. “Aaaakhh…!! Aaah… Maaaar…!!” aku berteriak ketika akhirnya merasakan orgasme. Beberapa detik lamanya nafasku seperti terhenti merasakan kenikmatan yang begitu hebat. Menyadari aku sudah mencapai puncak, Amar sengaja menghentikan tusukannya ketika merasakan penisnya seperti disirami air yang tentu saja itu adalah cairan kewanitaanku. Setelah cukup lama, Amar mulai menarik lepas penis miliknya dari vaginaku. Wajahnya terlihat bangga ketika melihat penisnya mengkilat dilumuri lendir vaginaku. “Amar sayang Teteh…” kata adikku layaknya laki-laki yang sedang merayu pasangannya. “Teteh juga…” balasku pelan. “Ahh… Aaaahhh… Aaaaaahhh…” terdengar nafasku tersengal-sengal ketika Amar kembali memompa vaginaku. Tubuhku memang mulai melemas seiring dengan orgasme yang sudah kurasakan, namun nafsu birahiku bangkit ketika Amar mulai menyetubuhiku lagi. “Aaahh… Aaakkhh…!! Aaahhh… Sa-sakiitt…!! pelan-pelaaann dong Maaar…” hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku ketika Amar semakin memperlakukanku dengan kasar. Tetapi sesungguhnya aku lebih menikmati permainan seperti ini dibanding dengan suamiku yang sangat lembut. Adikku membuat putaran dan menusukkan penisnya lebih dalam. Kadang dia juga menaikkan kecepatan sodokannya lalu tiba-tiba memperlambatnya. Tentu saja hal tersebut membuat emosiku naik dan turun. Walaupun badan ini serasa ingin remuk, namun aku benar-benar merasakan sensasi seks yang benar-benar hebat. Sekitar 10 menit kemudian, aku menyadari bahwa Amar sebentar lagi akan keluar ketika dia menggeram cukup keras dan terus menaikkan kecepatan sodokannya. “Amaaar… Mauuu keluuaaaar Teeeeh…!!” teriaknya seperti sudah aku duga. “Maaaar… Ja-jangaaan… Heeeeeh… Ke-keluariiin di dalem yaaah…” pintaku memohon. “Teeeh buka mulutnyaaaa…” ujar Amar yang membuatku lega karena mengerti dengan maksudnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung membuka mulutku. Lubang jamur Amar akhirnya menyemprotkan cairan putih kental. Aku pasrah menerima semburan sperma yang sangat banyak namun hampir dapat kutelan semua. Cairan yang menetes di pinggiran mulutku bahkan aku bersihkan hingga tidak tersisa sama sekali. Apalagi rasanya tidak berubah dan masih tetap enak seperti dulu. Amar hanya tersenyum melihat aku terus menjilat seolah tidak memberi kesempatan batang penisnya untuk beristirahat. Sesudahnya Amar langsung lunglai di atas tubuhku. Dia kemudian merangkulku ke dalam pelukannya dan mencium keningku. Sungguh romantis adikku ini, bahkan suamiku sendiri tidak pernah melakukannya setelah kami selesai berhubungan badan. “Enaaak banget Teh…” bisiknya di telingaku hingga hampir tidak terdengar. Amar kemudian merebahkan tubuhnya di sampingku, sebelum akhirnya mulai tertidur lelap. Terdengar suara dengkurannya yang cukup keras hingga membuatku tertawa tertahan. Karena tidak merasa mengantuk walaupun lelah, aku lalu menatap kosong langit-langit kamar tidurku ini. Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian-kejadian yang aku dan Amar sering lakukan sebelum ini. Semua petualangan seks mulai dari pertama kali semua hal ini berawal, yaitu di kamar mandi rumah orangtua kami, kemudian di kamar kami masing-masing hampir setiap malam, di parkiran mobil sebuah pusat perbelanjaan dan masih banyak lagi. Kejadian yang tidak sepantasnya kami lakukan. Namun apabila nafsu sudah menguasai, perbuataan tersebut tidaklah pandang bulu karena yang dikejar hanyalah kepuasan birahi belaka. Kami berdua memang sudah tidak dapat memutar waktu dan merubah semuanya. Hanya dengan membayangkan kejadian-kejadian tadi sudah membuat vaginaku kembali basah. Masih sangat terasa usapan-usapan telapak tangan Amar yang merayapi pahaku dan juga denyutan-denyutan kenikmatan pada vaginaku. Saat ini jari-jemariku mulai mengusap klitorisku yang rasanya kian membengkak. Tanganku yang satunya lagi meremasi payudaraku yang mungil namun padat serta perlahan-lahan memilin bagian putingnya dengan penuh kelembutan. Kurasakan butir-butir keringat telah mengumpul di sekujur tubuhku, karena selain hawa yang panas, aku juga sudah terbakar birahi. Aku membalikkan badan hingga tidur menyamping membelakangi Amar agar tidak mengganggunya. “Engggghhhhh… Hhhmmmhhhhh…” ketika menggosok-gosok klitorisku tidak terasa aku mulai mendesah-desah merasakan nikmatnya masturbasi ini. Ada rasa menggelitik saat jari tengahku bergerak lembut memutari putingku yang semakin meruncing. Sambil melakukan gerakan ini, aku mencoba membayangkan adikku menggerayangi lekuk-lekuk tubuhku yang mulus, kemudian bibirnya yang tebal menghisap puncak payudaraku dan dengan tanpa ampun dia menjebloskan batang penisnya yang keras ke dalam vaginaku. “M-marrr… Amaaaaar…! Ooooh… Amaaaar…!” aku menyebut nama adikku berulang kali saat merasakan kenikmatan yang tiada tara. “Auhhh…” aku tersentak kaget ketika sebuah tangan memegang bahuku dan tentu saja membuat diriku keluar dari kenikmatan sebuah dunia halusinasi. “Teteh manggil Amar?” tanya adikku yang rupanya sudah terbangun. Adikku sepertinya tidak sadar bahwa dia telah menjadi bahan imajinasiku. Karena tidak tahan lagi akhirnya aku langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Tubuhku seperti menggigil saat ciuman kami semakin liar tanpa kendali. Bibir adikku kini mulai merambat turun ke leherku. Dengan kasar lidahnya menjilati batang leherku dengan kuat. Kedua tanganku melingkar memeluk batang leher adikku sambil terus merintih lirih. Tampaknya Amar terangsang dengan suara rintihanku karena terbukti sekarang dia semakin ganas menjilati batang leherku. “Uhhhhh…!!” permainan adikku membuat tubuh ini melonjak seperti tersengat listrik. Mataku bertatapan dengan matanya yang berbinar-binar liar, aku terlena dalam nyamannya rasa nikmat hingga tidak menyadari saat tangannya sudah berada di bagian selangkanganku “Ohhhhhhhhhhhh…!!” aku semakin terangsang saat adikku juga meremas-remas gundukan payudaraku. Sungguh luar biasa nikmatnya saat telapak tangan Amar bergesekan dengan kulit payudaraku yang halus hingga sulit sekali untuk diungkapkan dengan kata-kata. “Heemmm… Sekarang kok Teteh yang napsu sih?” tanya Amar. Tanpa ada keinginan untuk menjawab, aku terus menikmati remasan-remasan kuat tangannya. Agar lebih nyaman aku memperbaiki posisiku dengan membuka lebih lebar kedua kakiku. Tangan kiri Amar mengelus-elus selangkanganku sedangkan tangan kanannya terus bermain pada payudaraku. Aku menggigit pelan bibir bawahku untuk menahan suara desahan dan rintihan dari bibirku. “Eeehh… Aaaah… Amaaaarr…!!” aku sedikit terkejut ketika keempat jarinya sudah mulai menggaruk dan memijat-mijat permukaan vaginaku. Nafasku terasa semakin berat dan sesak saat rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi. Gairahku semakin sulit untuk dikendalikan sehingga untuk beberapa saat lamanya aku hanya terdiam pasrah. Melihat seringai mesum di wajah Amar justru membuat aku terangsang berat. “Uufffhhh… M-maaar…!! Ooooh…!!” sambil terus mendesah aku memegang tangannya lalu mengarahkan ke bagian klitorisku. Tubuhku terasa menghangat dan lemas saat jari-jari tangannya sudah berada di bagian paling sensitif dari vaginaku. Aku semakin mendesah nikmat saat tangan adikku terus merayapi bagian intimku. Sudah tentu aku sangat menikmati urutan-urutan Amar di tempat tersebut. “Eemmmhhh… Ssssshh… Ssssshhhhh… Aaahhhh…!” aku tidak menyadari sejak kapan cairan vaginaku mulai meleleh melalui rekahan vaginaku yang masih rapat. Aku semakin sering menggelinjang dan menggelepar keenakan saat tangan Amar menjepit dan memilin-milin puting susuku, sementara jemari terlatihnya terus-menerus mengelus serta menggosok-gosok di belahan bibir vaginaku. “Maaaaar…!! Eemmmh… Maaaar…!!” aku mengejang dengan nafas tertahan saat merasakan vaginaku berdenyut-denyut dengan kuat. “Aaakhhhh… Teteeeeh keluaaaaaaar…!!! Amaaaaaaaar…!!!!” aku berteriak-teriak seperti orang gila ketika mencapai puncak. Semburan-semburan cairan hangat yang nikmat itu membuat tubuhku menggigil dengan hebat. Remasan-remasan tangan Amar membuatku semakin terhanyut menikmati klimaksku. Kedua mataku terpejam meresapi sisa-sisa orgasme yang baru saja kualami. “Teh… Amar pengen ngentot lagi nih… Tapi sekarang pake gaya nungging yuk…!!” ajak adikku dengan pandangan berbinar sambil jakunnya bergerak turun naik tanda sudah sangat bernafsu untuk dapat menyetubuhi kakak kandungnya kembali. Aku terdiam saat dia sudah membalikkan tubuhku yang masih lelah. Kedua tangan Amar dengan kuat menarik pinggulku hingga bersentuhan dengan penisnya. “Siap-siap ya Teh…!” ujar Amar memperingatkanku. “Nngghhh… Nnngghhh…” berkali-kali tubuhku terdesak kuat saat Amar berusaha menjejalkan kepala penisnya. Kepala penis Amar terus bergesekan dengan bibir vaginaku yang masih basah oleh lendir-lendir licin yang lengket sebelum akhirnya menekan kuat hingga mulai masuk sepenuhnya. Dapat aku rasakan kedutan-kedutan alat kelamin kami yang sudah menyatu. Batang tersebut terus bergerak-gerak dengan sentakan-sentakan yang kuat dan semakin dalam hingga selangkangan kami saling mendesak. Berkali-kali tubuhku mengejang nikmat saat adikku mulai menggenjot. Genjotan-genjotan kasarnya dipadu dengan goyangan ke kiri dan kanan. Sekujur tubuhku bergetar hebat menahan rasa nikmat saat batang yang panjang tersebut memasuki liang vaginaku. Aku membenamkan kepalaku ke bantal untuk meredam suara teriakan yang keluar dari mulutku. “Pelan-pelaaaan Maaar…” ketika penis tersebut semakin dalam memasuki vaginaku. Ketika sudah cukup lama berada di dalam posisi menungging, akhirnya tenagaku habis. Buah pantatku merosot turun serta payudaraku mendarat di atas ranjang. Aku tergeletak tanpa daya dibawah tindihan tubuh Amar ketika tangannya mengelus-ngelus punggungku. “Sssssshhhh… Sssssshhhhh…” aku meringis menahan rasa nikmat saat penis itu mulai memompa liang vaginaku. Tubuhku terasa lemas tak bertenaga. Gempuran demi gempuran batang penis Amar seolah menguras habis tenagaku. Suara helaan nafas kami dan suara penisnya yang beradu dengan selangkanganku saling bersahutan memenuhi kamar ini. Aku terus menikmati setiap sodokan-sodokan batang penis Amar. Ketika kekuatanku sudah lumayan pulih, pantatku mulai naik ke atas hingga posisiku kembali menungging di atas kedua kaki dan tanganku. “Nahhh… Kayak gitu dong! Teteh emang hebaaattt!” kata adikku memuji. “Aaahhh… Aahhh… Aaaaaaahhh…” aku mengerang dan merintih lirih merasakan lingkaran otot yang seperti tertarik keluar saat Amar menarik penisnya lalu membenamkan seluruh batangnya sekaligus. “Gilaaa memeknyaaa Teteeeeh…!! Sumpaaaah… Enaaaaak bangeeeet…!!! Aaaaaaakkh…!!”geram adikku. “Maaaar… Oooohh…!!” aku semakin sulit mengendalikan luapan nafsuku saat kedua tangan Amar menggapai payudaraku dan melakukan remasan-remasan lembut. “Oooooh…!! Aaaaaaah…!! Teteeeeeeeh…!!!!!” teriak Amar yang rupanya hendak mencapai puncak. “Aaaanghh… Aaaaaaanngghh… Keluaaariiin di daleeeem ajaaa Maaaar…!! Aaaaah…” kataku sambil mendesah dengan suara seksi. Dengan tanpa ampun penisnya yang terus menyeruak masuk mulai berkedut-kedut. Adikku berkelojotan ketika meraih ejakulasi melalui perantara tubuhku. Semburan demi semburan terus memenuhi rahimku. Kami berdua sama-sama menggeram setiap kali adikku menyemprotkan sperma. Aku terus bergidik merasakan nikmatnya air mani yang keluar di dalam vaginaku hingga tetes terakhir. “Oookhh… Enaknyaaa memek… Heeeh… Teteeeh… Eeenggh…” celoteh adikku sebelum akhirnya merebahkan diri. Saat ini kami benar-benar merasa kelelahan. Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang kurus. Ada rasa nyaman yang kurasakan saat kedua tangannya memeluk tubuhku yang mungil dan mengusap keringat di tubuhku. Ketika menyadari kalau saat ini sudah cukup siang, kami bergegas mengenakan pakaian, kemudian menuruni tempat tidur dan menuju ke ruang tamu karena takut jika mertuaku tiba-tiba saja pulang. Sekitar 15 menit kemudian adikku pamit untuk pulang. Setelah menutup pintu depan, aku kembali masuk ke kamar tidur lalu merayap naik keatas ranjang dan berusaha menenangkan diri sambil berusaha mengusir sisa-sisa kenikmatan yang sudah lama tidak aku alami dengan Amar. Perasaan bersalah saat melihat wajah suamiku yang tidak pernah mengetahui hal ini membuat aku mengutuk diriku sendiri. Mungkin nantinya aku akan berusaha menghindari Amar saat aku sedang main ke rumah orangtua kami di Cibubur atau ketika ada acara keluarga besar, karena apabila ini terus terjadi maka cepat atau lambat suamiku pasti akan mengetahui semuanya. - Tamat -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar